REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY -- Menteri luar negeri Prancis pada Selasa mendesak Libya dan negara-negara tetangganya untuk bekerja sama menghadapi ancaman dari "kelompok-kelompok teroris".
Desakan itu dinyatakan ketika ia mengunjungi Niger satu minggu setelah negara tersebut mendapatkan serangan mematikan, yang diyakini dilakukan oleh para Islamis dari Libya selatan.
"Tampaknya kita harus melakukan upaya khusus di Libya selatan, seperti yang diinginkan Libya," kata Menlu Laurent Fabius setelah melakukan pertemuan dengan Presiden Niger Mahamadou Issoufou di Niamey.
Menteri luar negeri Prancis itu mengatakan mereka telah membahas "langkah-langkah yang bisa dijalankan negara-negara tetangga," sebagai penghubung dengan Libya dalam menghadapi kemungkinan gerakan-gerakan "kelompok-kelompok teroris".
"Ini merupakan apa yang juga diinginkan oleh perdana menteri Libya," tambah Fabius. "Kami akan berupaya mendorong aksi bersama dengan pihak Libya."
Niger utara mengalami serangan bunuh diri hampir secara bersamaan pada 23 Mei hingga menewaskan 24 orang di sebuah markas tentara serta satu orang lainnya di penambangan uranium yang dijalankan Prancis.
Dua kelompok Islamis telah menyatakan bertanggung jawab terhadap pemboman itu. Mereka menyebut serangan-serangan tersebut sebagai tindakan pembalasan atas pengiriman tentara yang dilakukan Niger dalam membantu gerakan yang dipimpin Prancis untuk menentang pemberontakan yang terkait Alqaidah di Mali.
Presiden Niger sebelumnya mengatakan bahwa para penyerang memasuki negaranya dari Libya selatan, namun Perdana Menteri Libya Ali Zeidan telah membantah klaim tersebut.
Menurut beberapa pengamat, Libya selatan dalam beberapa bulan ini telah menjadi tempat berlindung yang aman bagi para gerilyawan jihadis yang terdorong keluar dari Mali karena serangan yang dilancarkan kekuatan pimpinan Prancis mulai Januari lalu.
Setelah mengunjungi Niamey, Fabius bertolak menuju ibu kota Mali dan bertemu dengan Presiden Dioncounda Traore.
Dalam kunjungannya itu, Fabius menekankan sikap Prancis bahwa semua wilayah di Mali harus diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam pemilihan presiden, termasuk wilayah di utara yang dikuasai oleh para pemberontak Tuareg.
"Bagi Prancis, jelas bahwa tidak bisa ada dua negara dalam negara yang sama. Pengaturan-pengaturan akan dijalankan agar pemungutan suara di Kidal juga berlangsung di wilayah-wilayah lainnya," kata Fabius kepada AFP setelah tiba di Bamako.
Sikap Prancis itu telah mengundang kritik dari partai dari politisi utama Mali serta calon presiden Soumana Sacko, yang menuduh Paris melakukan campur tangan terhadap politik dalam negeri Mali.