REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai tekanan dari pemerintah negara asing bermunculan seiring dengan rencana eksekusi mati yang akan dilakukan terhadap warga negara mereka. Terbaru, pemerintah Prancis dan Australia mengancam akan menarik duta besar mereka di Jakarta.
Wakil Ketua MPR Mahyudin mengatakan, pemerintah Indonesia tidak perlu ragu untuk terus melaksanakan eksekusi. Pemerintah, lanjutnya, harus konsisten mempertahankan kedaulatan hukum yang dimiliki tanpa terpengaruh dengan intervensi atau tekanan dari negara lain.
Apalagi eksekusi tersebut sudah diputuskan pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap. "Menurut saya pemerintah tidak usah terlalu risau, silakan dilanjutkan. Saya kira tidak perlu banyak penundaan, semakin lama ditunda semakin banyak tekanan yang muncul," kata Mahyudin kepada Republika, Selasa (28/4).
Mahyudin mengatakan, negara lain harus menghormati kedaulatan hukum yang dimiliki Indonesia. Berbagai protes yang muncul, lanjutnya, adalah hal yang wajar karena setiap negara pasti membela warga negaranya. Ia pun meminta pemerintah Indonesia untuk tidak terlalu khawatir dengan ancaman yang diberikan negara lain.
"Ke depannya pasti akan membaik lagi. Permasalahan dalam hubungan internasional antar negara adalah hal yang biasa. Sama seperti Indonesia yang protes narik Dubes di Arab Saudi, nanti juga akan dikirim lagi. Silakan saja, nanti kan bisa balik lagi. Yang penting tiap negara saling menghormati kedaulatan hukum masing-masing,"
ujarnya.
Untuk diketahui, Presiden Prancis, Francois Hollande mengancam Indonesia jika eksekusi terhadap WN Prancis Serge Atlaoui tetap dilaksanakan. Menurut Hollande, Indonesia akan menghadapi konsekuensi diplomatik jika eksekusi dilaksanakan, salah satunya dengan menarik duta besar di Jakarta. Ia juga menyatakan tidak akan berkunjung ke Indonesia dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Perdana Menteri Tony Abbott dan Menteri Luar Negeri Julie Bishop pun sedang mempertimbangkan untuk menarik Dubes Australia untuk Indonesia.
Langkah ini dilakukan menyusul tetap diberlakukannya rencana hukuman mati gelombang kedua yang melibatkan dua warga Australia.