REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini di Indonesia, terdapat potensi lahan di 619 kawasan transmigrasi, yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur, yang didukung dengan ketersediaan SDM, infrastruktur, kelembagaan ekonomi.
Dari hasil identifikasi kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, terdapat potensi lahan pertanian tanaman pangan di kawasan transmigrasi seluas 3,4 juta Ha, tersebar di 24 provinsi yang dapat dikembangkan sebagai sawah baru seluas kurang lebih 690 ribu Ha.
Namun sayangnya, pemenuhan kebutuhan masih didominasi oleh impor pangan dari luar negeri. Hal itu menunjukan bahwa upaya ketahanan pangan masih terfokus pada ketersediaan dan konsumsi. Upaya ketahanan pangan juga belum berorientasi pada sisi produksi, kemandirian, dan kedaulatan pangan.
Wakil ketua MPR berharap, tanah-tanah kosong yang ada di Indonesia, jangan semuanya dijadikan kebun. Tapi juga harus bisa dikelola untuk lahan pertanian. Karena menurutnya, rakyat paling mudah bertani daripada berkebun, salah satu faktornya karena modalnya yang kecil.
''Mengapa rakyat Indonesia tidak bisa menjadi raja di bidang pertanian dan perkebunan,'' kata Oesman Sapta, di Jakarta, Senin (24/8).
Menurut pria yang akrab disapa Oso itu, jangan bermimpi Indonesia makmur, jika petani belum makmur. Apalagi, Indonesia terbukti belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dari produksi pertanian dalam negeri.
Memudarnya nasionalisme, dituding menjadi salah satu penyebab bangsa ini belum memiliki kemandirian pangan. Lunturnya nasionalisme pada gilirannya membuat rakyat menolak program transmigrasi yang bertujuan adanya pemerataan pembangunan. Hal itu bisa diperparah jika ego sektoral kementrian atau lembaga lebih ditonjolkan.
''Kalau nasionalisme tidak ada, maka pembangunan akan berpihak pada asing, kelompok-kelompok kecil orang akan menguasai ekonomi,'' ujar dia.