REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Wakil Ketua MPR, Mahyudin, mengatakan salah satu tuntutan reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan pemerintahan bersih. Namun, setelah reformasi berlangsung 17 tahun, praktik KKN masih berlangsung.
"Pemberantasan korupsi hampir berjalan di tempat," kata Mahyudin saat menjadi pembicara dalam sosialisasi Empat Pilar MPR dalam rangka memperingati hari antikorupsi sedunia dengan tema "Komitmen Pemimpin dalam Pemberantasan Korupsi" di Aula Kantor Walikota Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (21/11).
Mahyudin menjelaskan korupsi yang marak, terkait juga dengan demokrasi politik. Sesungguhnya demokrasi bisa berjalan baik di negara-negara maju yang pendapatan per kapita penduduknya sudah tinggi. Negara-negara maju seperti di Eropa atau Amerika, pendapatan per kapita penduduknya sudah 40 ribu dolar AS.
Sedangkan, pendapatan per kapita Indonesia baru 45 juta per tahun. "Itu pun masih terjadi kesenjangan di Indonesia yang tajam ditandai dengan indeks gini ratio 0,42. Artinya terjadi jurang antara mereka yang kaya dan miskin," jelas Mahyudin dalam acara sosialisasi yang merupakan kerjasama MPR dengan Forum Masyarakat Anti Korupsi (Formak) Kaltim tersebut.
Dimana keterkaitannya demokrasi dan korupsi? Mahyudin mencontohkan kalau di AS karena warganya kaya, maka calon presiden disumbang (donasi dari konstituen). Tapi, di Indonesia calon kepala daerah harus mengeluarkan uang untuk konstituennya. "Karena beratnya pada saat pencalonan itulah kepala daerah (pemimpin) tersangkut korupsi. Jadi, komitmen tidak melakukan korupsi tinggal komitmen," ujarnya.