REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa menjadi sarana pelatihan untuk pengendalian diri. Meski demikian, pengendalian bukan sebatas tak makan dan minum pada siang hari.
Selain itu, umat Islam juga mesti mampu menahan diri dalam menyajikan dan mengonsumsi hidangan berbuka dan sahur. Ketua Umum Wahdah Islamiyah Muhammad Zaitun Rasmin mengatakan, idealnya hal itu tak jadi ajang penghamburan uang.
Ia mengaku, sering kali proses menahan diri yang dilakukan kaum Muslim tidak tuntas. Maksudnya, mereka sanggup berpuasa menahan lapar dan dahaga.
Akan tetapi, kebiasaan saat berbuka malah seperti orang kalap dengan makan sepuasnya. "Menahan diri yang utama juga ketika mampu tidak makan dan minum dalam hidangan yang disajikan secara berlebihan," katanya, Rabu (10/7).
Zaitun menilai, fenomena makan berlebihan pada bulan Ramadhan jelas tidak baik untuk dilakukan. Karena itu, masalah lepas kontrolnya warga yang lupa diri ketika makan harus dicarikan solusi.
Mereka harus disadarkan bahwa mengendalikan diri harus dilakukan sepanjang waktu. Menurut dia, rutinitas puasa tanpa dibarengi evaluasi membuat tidak sedikit orang terjerumus dengan ibadah ritual semata.
Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini malah dijadikan sebagian kelompok untuk bergaya hidup konsumtif. Bukannya amalan sedekah yang alokasinya ditambah, melainkan pengeluaran pribadi untuk memborong makanan dibesarkan.
Ia mengatakan, kurangnya pemahaman akan pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa menjadikan akar persoalannya.
Padahal, ritual puasa diperintahkan untuk dilaksanakan agar kaum Muslim bisa merasakan penderitaan saudaranya yang miskin sepanjang tahun.
Melihat banyaknya kaum papa yang untuk sekadar makan pun susah, menunaikan puasa merupakan sebuah media untuk merasakan penderitaan mereka. Sayangnya, tutur Zaitun, yang terjadi malah kebalikannya.