REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Batal tidaknya puasa akibat pengamatan terhadap lawan jenis bergantung pada sejauh mana pengaruhnya pada nafsu.
Puasa pada prinsipnya adalah al-imsakatau menahan diri dari segala hal yang bisa membatalkan rukun Islam ketiga tersebut. Tak terkecuali menahan nafsu akibat persinggungan dengan lawan jenis. Beberapa soalan muncul dalam kajian fikih seputar topik ini. Salah satunya ialah apa hukum melihat lawan jenis? Apakah aktivitas tersebut bisa membatalkan puasa? Lalu, apa konsekuensi hukumnya bagi opsi pendapat yang menyatakan batal?
Prof Abdul Karim Zaidan dalam karyanya yang berjudul al-Musfashal fi Ahkam al-Mar'ati menjelaskan, ketentuan hukum dalam persoalan ini opsional. Tidak bisa dipukul rata. Sesuai dengan kondisi masing-masing. Ketentuan yang pertama, penglihatan atau bahkan pengamatan tersebut selama tidak disertai dengan nafsu dan menyebabkan keluar mazi dan atau sperma maka tidak merusak puasa.
Sedangkan, kondisi yang kedua, penglihatan atau pengamatan tersebut disertai dengan keluarnya sperma. Bila demikian, puasa yang dilakukan rusak dan batal. Ini seperti disampaikan oleh sejumlah ulama, antara lain, Imam Ahmad, Atha', Hasan al-Bashri, Hasan bin Shalih, dan Imam Malik, Jabir bin Zaid, at-Tsauri, Abu Hanifah, Syafi'i, dan Ibn al-Mudzir.
Selanjutnya, bila pengamatan atau penglihatan tersebut hanya berdampak pada keluarnya mazi maka dipahami secara tekstual dari pernyataann Imam Ahmad bahwa puasa tersebut tidak batal.
Lalu, apa konsekuensi hukum bila yang bersangkutan sengaja mengamati lalu keluarlah sperma? Menurut mazhab Maliki, dalam kasus ini maka yang bersangkutan wajib mengganti puasa di lain hari, sekaligus harus membayar kafarat, yaitu memberi makan tiap hari satu orang sebanyak satu mud atau sekitar 675 gram untuk setiap jumlah puasa yang ia batalkan. Sedangkan, menurut mazhab Zhahiri, pengamatan tersebut tidak mengakibatkan puasa batal, baik pengamatan itu berdampak pada keluarnya sperma ataupun tidak. Dengan demikian, menurut mazhab ini tak perlu mengganti puasa atau membayar kafarat.
Persoalan lain juga muncul dari topik ini, yakni perihal hukum berpikiran 'jorok' dan ngeres saat Ramadhan. Apakah tindakan seperti ini bisa membatalkan puasa seseorang? Zaidan menguraikan, ada dua pendapat, yakni puasanya tidak batal.
Penegasan ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah al-Hanbali. Menurut Ibnu Qudamah, imajinasi tersebut hanya lamunan sesaat, selama tidak diikuti tindakan nyata apa pun bentuknya maka tidak memiliki implikasi hukum.
Namun, oleh Ibnu Aqil yang masih bermazhab Hanbali, imajinasi tersebut dianggap bisa membatalkan puasa. Pendapat ini dikuatkan pula oleh mazhab Maliki dan Syafii. Bila aktivitas berkhayal itu memicu keluarnya sperma atau mazi maka puasanya batal. Ia pun mesti mengqadhanya di lain hari, berikut wajib membayar kafarat.