REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Suatu pagi, Saumya terbangun dari tidur. Buru-buru ia menuju cermin. Matanya fokus melihat bayangan wajahnya. Namun, ada nada tidak puas terlihat. Ia seperti gagal menemukan jawaban.
"Aku punya masalah dengan kepercayaan. Berulang kali terus menyangkal hingga akhirnya aku tidak bisa lagi menolak," kata dia seperti dikutip Arabnews.com, Jumat (12/7).
Selama penyangkalan itu, Saumya memastikan dirinya tidak akan menjadi atheis alias tidak percaya Tuhan. Ia tetap seorang Hindu yang percaya pada satu Tuhan, bukan banyak Tuhan yang merupakan dasar keyakinan Hindu.
Sebagian diri Saumya menerima logika penyembahan terhadap ciptaan Tuhan. Setiap benda atau wujud yang terlihat merupakan ciptaan Tuhan. "Jadi, aku saat itu bangga menjadi musyrik," katanya.
Terkait Islam, Saumya justru punya pandangan negatif. Ada kebencian di dalam hatinya. Ia merasa Islam itu agama yang kaku dan keras. Baginya, keyakinan Islam itu tidak pernah masuk akal.
Di saat kebencian itu memuncak, Saumya mulai mendekat pada Islam. Suatu hari, ia bertemu seorang Muslim yang kebetulan teman satu kelasnya. Selama dikelas, ia terlibat berdebatan panjang dengan teman Muslimnya itu.
Tanpa disadar, kesalahpahaman Saumya tentang Islam, seperti posisi perempuan dan lainnya mulai diluruskan. Sayang, itu belum membuatnya menaruh minat. Tapi ia mulai menanggalkan sikap anti-Islam.
"Saat itu, aku masih bangga menjadi musyrik. Tapi sebagian dariku memiliki kemauan untuk bergerak atau melakukan perubahan," tuturnya.