REPUBLIKA.CO.ID, Virgiawan Sentosa harus menjalankan puasanya tanpa sahur. Dia hanya menenggak air putih untuk membuat tubuh cekingnya bertahan. Pemuda itu harus berjuang hidup di Pasar Kemiri, Depok, menjual kantong plastik.
Vian, nama sapaannya, baru dua pekan ini resmi menjadi mualaf. Dia mengucap syahadat di Masjid Cut Meutia, Jakarta.
“Aku selalu berpikiran bahwa Allah tidak pernah memberi cobaan yang melampau kekuatan hambanya. Maka dari itu aku selalu percaya bahwa Allah akan selalu memberi jalan”, ujar Vian, saat diwawancara melalui telepon, di Jakarta, Senin (15/7)
Vian berasal dari Bandung. Kedua orangtuanya beragama Katolik. Sejak kecil, Vian pun dididik dengan tata cara Katolik. Hanya, kegelisahan melanda Vian duduk di bangku SD. Dia selalu merasakan kegelisahan dalam hatinya.
Menurutnya, ketika itu dia selalu merasa tidak tenang, sedih, dan bahkan menangis. Saat masuk SMP, dia pun sering bermain dengan temannya di belakang komplek. Mayoritas teman-temannya adalah seorang Muslim. Sehingga, dia sering diajak untuk ikut ke mushola pada saat teman-temannya melaksakan sholat.
Diam-diam, Vian sering memperhatikan ibadah kawan-kawan sepermainannya itu. Dia memperhatikan bagaimana gerakan-gerakan sholat, apa saja syarat untuk sholat dan sebagainya.
Tanpa sepengetahuan keluarga dan teman-temannya, gerakan-gerakan sholat ini dipraktikkan oleh Vian di rumahnya meski belum memahami apa saja bacaan-bacaannya.
Di masa SMA hati Vian semakin mantap untuk terus mempelajari segala hal tentang Islam. Walaupun secara diam-diam, dia tidak pernah putus asa mencari tahu tentang agama Islam ini.
Dia juga sering mencari keterangan dari teman-temannya. Hanya saja caranya adalah dengan tidak terlalu ingin tahu tentang Islam sehingga teman-temannya memberi informasi tanpa curiga meski dengan semangat memberikan jawaban yang diinginkan oleh Vian.
Semakin hari kecintaanya terhadap Islam semakin besar hingga akhirnya ia lulus SMA dan di terima di peguruan tinggi Institut Teknologi Bandung di jurusan Teknik Mesin.
Namun, di tengah-tengah perkulihannya, ia tidak bisa diam-diam terus untuk mempelajari Agama Islam. Dia pun bertekad untuk berkata jujur kepada kedua orang tuanya. Resiko sebesar apapun siap ia hadapi demi menjadi seorang Muslim.
Akhirnya tekad itu pun bulat, dia berkata jujur kepada ketua orang tuanya mengenai hal yang selama ini dilakukan semenjak SD. Mengetahu hal tersebut, kedua orang tua Vian sangat murka dengan apa yang selama ini dilakukan oleh Vian.
Beberapa pukulan oleh ayahnya di didapatkan oleh Vian. Lalu akhirnya, orang tuanya memberikan pilihan kepada Vian untuk tetap melanjutkan perkuliahannya dan tetap bergama Katolik atau segera angkat kaki dari rumah.
Karena kecintaannya kepada Islam sangat besar, ia pun memilih untuk pergi dari rumah berbekal sepotong kaos dan celana. Vian lantas pergi ke daerah Depok. Ketika itu, dia belum mengucapkan syahadat.
Surat-surat penting seperti Ijazah tidak di perkenankan oleh orang tuanya untuk di bawa olehnya. Karena orang tua nya telah berpikiran, dengan seperti itu, anaknya tidak akan lama bertahan hidup di jalanan dan akan segera kembali ke rumah.
Namun tekad Vian sudah bulat dan tetap pergi ke Depok mencari tempat tinggal baru. Sesampainya di Depok, ia menginap di sebuah rumah temannya yang beragama Katolik. Hanya, saat mengetahui niat Vian menjadi mualaf, dia pun diminta pergi.
Vian kemudian pindah ke Masjid Al Huda yang masih berada di daerah Depok. Satu malam ia menginap di masjid itu dan bertanya kepada pengurus masjid, dimana ia bisa masuk Islam dan dibuatkan sertifikatnya.
Pengurus masjid memberi tahu bahwa di Masjid Cut Meutia yang berada di Jakarta Pusat, ia bisa masuk Islam dan mendapatkan sertifikat yang membuktikan bahwa ia adalah seorang yang beragama Islam.
Lalu ia pun langsung bergegas ke Masjid Cut Meutia tersebut. Sesampainya disana, ia mengutarakan maksud dari kedatangannya. Akhirnya, Vian pun menjadi seorang Muslim.
Bak telaga di tengah padang tandus, Vian mengucap syahadat. Dia tidak pernah menyesal telah memeluk agama Islam. Di tengah cobaan yang ia temui, ia selalu berpikir bahwa Allah tidak pernah memberi cobaan yang melampaui kekuatan hamba-NYA.
Setelah menjadi Muslim, Vian kembali ke Depok dan tinggal di mushola yang berada di terminal Depok. Kesehariannya adalah menjual beberapa lembar kantong plastik.
Maksimal dalam satu hari pendapatan yang ia hasilkan hanya sebesar Rp 7 Ribu . Walaupun tidak seberapa, namun ia tetap bersyukur dari apa yang ia dapatkan. Ia biasanya menjual-jual plastik tersebut dari jam 6 pagi hingga jam 11 siang.
Beberapa hari yang lalu, ia mendapatkan kabar bahwa ayahnya meninggal karena serangan jantung. Disaat itu dia tidak memiliki uang untuk kembali ke Bandung.
Namun ia mengingat Ustaz Abdul Latief, seorang saksi pada saat Vian masuk Islam sekaligus pengurus Masjid Cut Meutia. Dia menceritakan semuanya kepada Ustaz, dan tidak tahu apa yang harus di lakukan olehnya. Akhirnya Ustaz Abdul Latief memberikan ongkos kepada Vian dan akhirnya Vian bisa pulang ke Bandung dan ingin melihat ayahnya untuk terakhir kalinya.
Sesampainya rumah di Bandung, tetap tidak ada perubahan dari ibunya. Vian dituduh sebagai biang keladi kematian ayahnya. Sebentar, dia melihat ayahnya, kemudian pergi meninggalkan rumah atas permintaan ibunya.
Sebelum pergi, Vian mencoba memohon kepada ibunya agar memaafkannya dan memberikan surat-surat penting bagi Vian seperti ijazah. Namun, ibu Vian masih bersikeras dan tetap tidak memberikan surat itu.
Akhirnya Vian pun kembali ke Depok dengan tidak membawa apa-apa. Kecintaannya terhadap Islam dibuktikan dengan berbagai resiko yang ia dapatkan. Demi Islam, ia rela hidupnya terlunta-lunta di jalanan. Dia percaya, Allah akan selalu membantunya dengan berbagai cara.