REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Entah apa yang ada di hati dan benak para pelaku korupsi, kolusi, nepotisme, eksploitasi, rasywah, money laudering, gratifikasi, dan berbagai kebejatan serupanya. Demi dunia, mereka rela menggadaikan harga diri dan agama.
Anehnya, pelaku kejahatan itu umumnya orang-orang besar, berpendidikan tinggi, mengerti agama, dan memiliki aset harta yang sukar dihitung jumlahnya. Begitulah profil manusia kalau sudah kehilangan sikap qanaah.
Kondisi mereka digambarkan Allah, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapa yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” [QS Al-Jatsiyah: 23].
Hidup minus qanaah menjadikan orang gelap mata. Katanya pintar, tetapi sesungguhnya bodoh. Katanya kaya, tetapi sesungguhnya miskin. Katanya mulia, tetapi sesungguhnya hina. Katanya terhormat, tetapi sesungguhnya terlaknat. Katanya pejabat, tetapi sesungguhnya penjilat. Katanya hebat, tetapi sesungguhnya melarat. Katanya pejuang, tetapi sesungguhnya pecundang. Katanya sukses, tetapi sesungguhnya gagal. Katanya bahagia, tetapi sesungguhnya merana. Mereka lupa bahwa hidup ini tidak lebih sekadar permainan.
“Ketahuilah, bahwa sungguh kehidupan dunia ini hanya permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah di antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanya kesenangan yang menipu.” [QS Al-Hadid: 20].
Islam mengajarkan sikap hidup qanaah. Yaitu merasa cukup, rida atas segala karunia dan rezeki dari Allah. Menurut Buya Hamka, qanaah mengandung lima perkara. Pertama, menerima dengan rela segala rezeki yang ada. Kedua, berusaha dan memohon tambahan yang pantas kepada Allah. Ketiga, menerima dengan sabar semua ketentuan Allah. Keempat, bertawakal kepada Allah. Kelima, tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Qanaah melahirkan ketenangan dan kedamaian, karena merupakan harta yang tidak akan hilang dan pura yang tiada pernah musnah. Pelaku qanaah tidak mungkin berpacu dengan keinginan. Ketidakmampuan mengendalikan keinginan jelas menjadi muasal dari segala kebuasan manusia. Benarlah ketika Rasulullah bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dikirimkan ke tempat kambing lebih berbahaya daripada kelobaan manusia pada harta dan kemegahan dalam membahayakan agamanya.” [HR Tirmidzi].
Analoginya sederhana. Serigala yang lapar akan berhenti makan ketika perutnya terasa kenyang. Tetapi, manusia tidak akan pernah merasa kenyang oleh dunia. Dunia diandaikan Rasulullah sebagai sesuatu yang manis dan hijau. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, manis merupakan sesuatu yang terasa nikmat di lidah, sementara hijau merupakan sesuatu yang tampak indah di mata. Hanya qanaah yang menolong kita dari tipuan lidah dan mata. Pesan Rasulullah, “Jadilah kamu seorang wara, niscaya kamu akan menjadi sebaik-baik hamba Allah. Jadilah kamu seorang qanaah, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur kepada Allah.” [HR Baihaqi].
Kendati demikian, tidaklah benar memaknai qanaah sebagai sikap anti-harta. Qanaah juga bukan kemalasan dalam bekerja. Ditegaskan Buya Hamka, qanaah yang benar itu qanaah hati, bukan qanaah ikhtiar. Dengan demikian, orang yang bersikap qanaah tidak dilarang memiliki profesi mapan, rumah megah, kendaraan banyak, barang mewah, tabungan jutaan atau miliaran di bank. Semua itu absah sebagai modal hidup di dunia.
Sahabat Rasulullah memiliki sikap hidup qanaah. Faktanya, tidak sedikit dari mereka yang hidup berlimpah harta. Amr bin Ash, Zubair bin Awwam, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqqas, Walid bin Mughirah, Abu Al-Ash, Abu Sufyan, Hakam bin Abu Al-Ash, Ash bin Wail adalah entrepreneur-entrepreneur sukses.
Demikian pula sejarah kehidupan ulama ternama. Abu Hanifah adalah saudagar sutera. Malik bin Dinar adalah penjual kertas. Muhallab bin Abu Shufrah adalah ahli membuat kebun. Qutaibah bin Muslim adalah saudagar unta. Uyainah dan Dhahak bin Muzahim adalah pengajar. Jelaslah, Islam tidak pernah melarang kita menjadi profesional dan terpandang. Yang dilarang adalah tamak pada kemewahan dunia sampai melupakan Allah.
Harta harus dimaknai sebagai sarana untuk menggairahkan ibadah dan kebaikan. Jika tidak, kita akan mendapati kenyataan sebagaimana dituturkan Rasulullah. “Saya berdiri di pintu surga, maka sebagian besar yang memasukinya adalah orang-orang miskin, sedangkan orang-orang kaya ditahan dulu, hanya saja para ahli neraka telah diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam neraka seluruhnya.” [HR Bukhari dan Muslim].
Ada dua tipologi orang kaya di dunia ini. Pertama, orang-orang kaya yang memang menjadikan harta sebagai visi dan misi hidup mereka. Model orang-orang kaya demikian tidak kenal haram dan halal. Jiwa mereka lapar. Menu makanan mereka segala yang ada di depan mata. Yang lain dipaksa minggir. Jika tidak mau minggir, maka akan dimangsa juga. Itulah orang-orang semacam Namrud bin Kan’an, Qarun bin Yashar, Firaun Minephtah, Haman, Jalut, Abrahah Al-Asyram, Abu Jahal, Abu Lahab, dan semisalnya.
Model kedua adalah orang-orang kaya karena akibat dari kesungguhan, perjuangan, pengabdian, dan kesyukuran mereka kepada Tuhan. Mereka itulah tipologi orang-orang kaya tanpa disengaja. Mereka tegas memilah antara halal, haram, dan syubhat. Akal mereka cerdas, hati mereka suci, dan jiwa mereka mulia selama mengikuti irama dunia. Kita mendapati orang-orang semacam Ibrahim bin Azar, Yusuf bin Ya’kub, Daud bin Yisya, Sulaiman bin Daud, dan manusia-manusia mulia selevelnya.
Pilihan di tangan kita, ingin masuk rombongan pertama atau kedua. Satu yang pasti, siapa saja yang ingin meraih harta tanpa hidup ngoyo dan selalu dikejar keinginan, qanaah adalah jalannya.
Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: [email protected]