REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Satu gerakan gerilyawan di timur Libya, yang kaya akan minyak, baru-baru ini menyatakan telah mendirikan perusahaan minyak regional guna mengelola produksi dan penjualan minyak dan gas. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah pusat dan kehidupan pendapatannya.
Abd-Rabbo Al-Barassi, Perdana Menteri Pemerintah Cyrenaica atau dalam Bahasa Arab --Barqa-- yang memproklamasikan diri secara sepihak, mengatakan perusahaan tersebut mulai sekarang akan berpusat di Tobruk, kota pelabuhan di pantai timur Laut Tengah, sebelum dipindahkan ke Benghazi. Wilayah Libya itu berbatasan dengan Mesir.
Hasil minyak Libya saat ini cuma sedikit dari kapasitasnya sebanyak 1,25 juta barel per hari. ''Pemerintah akan menghadapi defisit mulai Desember akibat gangguan sebanyak 60 persen ekspor minyak Libya. Kebanyakan dari wilayah timur,'' kata Ali Zeidan, Perdana Menteri Pemerintah sementara.
''Tak lama setelah pengumuman pendirian perusahaan minyak di Libya timur itu, Ali Zeidan mengeluarkan tenggat buat gerilyawan agar mencabut pengepungannya terhadap pabrik minyak dan gas di wilayah tersebut dalam waktu 10 hari,'' demikian laporan Xinhua yang dipantau Antara di Jakarta pada Selasa.
Ali Zeidan mengatakan menggunakan ladang minyak untuk melayani kepentingan politik dan pribadi tak bisa diterima baik. Pemerintah pusat akan melakukan tindakan kalau gerilyawan tak menghormati ultimatum tersebut.
Namun, Al-Barassi mengatakan pernyataan yang dikeluarkan Ali Zeidan bahkan tak layak dijawab. ''Sebab, kami bergerak dengan langkah tetap,'' katanya.
Pada penghujung Oktober, para pemimpin gerakan gerilyawan secara sepihak mengumumkan wilayah Negara Bagian Otonomi Cyrenaica, Libya Timur. Mereka menuduh pemerintah pusat di Tripoli korup dan salah mengelola hasil minyak nasional.