REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Sebanyak lima orang tewas dan 50 lain cedera di Tripoli, Jumat, setelah demonstrasi damai yang menuntut milisi meninggalkan ibu kota Libya itu berubah menjadi kekerasan, kata kementerian kesehatan.
"Jumlah korban naik menjadi lima orang tewas dan 50 cedera," kata juru bicara kementerian itu, memperbarui angka sebelumnya, tanpa penjelasan terinci mengenai korban.
Korban mulai berjatuhan ketika orang-orang di dalam markas milisi Misrata melepaskan tembakan ke arah demonstran.
Penembakan itu mendapat tanggapan keras, orang-orang bersenjata menyerbu sejumlah vila yang ditempati milisi dan membakarnya.
Pemerintah baru Libya hingga kini masih berusaha mengatasi banyaknya individu bersenjata dan milisi yang memperoleh kekuatan selama konflik bersenjata yang menggulingkan Muamar Qaddafi.
Pemberontak yang menggulingkan Qaddafi dielu-elukan sebagai pahlawan karena mengakhiri kekuasaannya yang telah berlangsung selama lebih dari empat dasawarsa.
Namun, banyak dari mereka menolak tuntutan pemerintah untuk menyerahkan senjata atau bergabung dengan pasukan keamanan nasional, yang menimbulkan ancaman bagi stabilitas.
Pada Oktober, sebuah kelompok milisi menculik Perdana Menteri Ali Zeidan dari hotelnya di Tripoli.
Serangkaian serangan mematikan di Tripoli dan Libya timur, khususnya Benghazi, selama beberapa waktu terakhir menandai berkembangnya keadaan tanpa hukum di negara itu setelah penggulingan Gaddafi.
Benghazi, tempat lahirnya pemberontakan anti-pemerintah yang menggulingkan rejim Muamar Qaddafi, dilanda pemboman dan serangan-serangan terhadap aparat keamanan dan juga konvoi serta organisasi internasional dan beberapa misi Barat.
Pihak berwenang menyalahkan kelompok garis keras atas kekerasan itu. Militan yang terkait dengan Alqaida menyerang Konsulat AS di Benghazi yang menewaskan Duta Besar AS untuk Libya, Chris Stevens, dan tiga warga lain Amerika pada 11 September 2012.