REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Boediono mengimbau Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) untuk membuat regulasi untuk mencegah rumah huni dijadikan sebagai instrumen investasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah tambah lebarnya ketimpangan antara permintaan dan kebutuhan rumah di Indonesia (backlog).
"Kita harus kendalikan permintaan rumah yang bukan untuk dihuni sendiri," kata Boediono di Jakarta, Senin (25/11). Backlog di Indonesia mencapai 15 juta unit. Setiap tahunnya backlog meningkat 600-700 ribu unit. Oleh karena itu, Kemenpera dihimbau untuk membuat policy agar rumah huni berfungsi seperti semestinya.
Pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan yang layak bagi rakyat. "Jika ada backlog, ini mestinya perlu ditanyakan prioritasnya di mana," kata Boediono.
Bagi masyarakat yang pemasukannya sudah bagus, kata Boediono, barangkali bukan prioritas. Pemerintah harus fokus pada masyarakat yang berpenghasilan kurang.
Untuk tujuan yang sama, Kemenpera tengah menggodok undang-undang tabungan perumahan rakyat (Tapera). Rancangan UU sudah sampai pada tahap finalisasi dan diharapkan selesai bulan depan.
Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz mengatakan sejauh ini rancangan UU tersebut sudah sesuai dengan rencana. Hanya ada beberapa hal yang masih mengganjal, terutama kewajiban pemberi kerja untuk menyumbang dalam Tapera.
Sejauh ini kewajiban membayar iuran hanya ditujukan kepada pekerja. Namun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menginginkan pemberi kerja juga ikut berkontribusi sehingga sejumlah instansi keberatan, seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kemenkeu keberatan karena UU ini juga akan berlaku untuk pegawai negeri sipil (PNS). Jika pemberi kerja dibebankan iuran Tapera, maka Kemenkeu akan dibebankan sebagai pemberi kerja PNS. Artinya akan ada penambahan dana di anggaran negara (APBN).