REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: TGH Habib Ziadi
Imam as-Subki dalam Thabaqat as-Syafi’iyyah menyebutkan, Imam Abu Hamid al-Isfirainy, yang meninggal pada 406 H pernah mengalami cekcok dengan salah satu khalifah Abbasiyah.
Abu Hamid pun menulis surat kepada khalifah yang berbunyi, “Ketahuilah, Anda tidak akan mampu mencopot kekuasaan yang telah diberikan Allah kepada saya. Sedangkan, saya mampu mencopotmu dari kekuasaan dengan cukup menulis satu atau dua lembar surat ke Khurasan.”
Imam Abu Hamid melalui surat itu ingin menyampaikan pesan bahwa kekuasaan politik itu memiliki batas waktu. Mahkota di kepala raja tidak selamanya akan disematkan kepadanya. Kapan saja bisa dicopot.
Hingga tiba waktunya, mahkota itu akan berpindah ke kepala orang lain. Berbeda dengan kedudukan seorang yang alim lagi rabbani, kemuliaan dan kedudukannya di mata Allah atau manusia tidak akan pernah pudar.
Ilmu itu adalah hibah Allah dan pemberian-Nya. Ilmu itu berada dalam dada dan takwa adalah mahkota di kepalanya. Ulama-ulama diabadikan dalam tinta-tinta emas karya mereka.
Nama-nama mereka harum di lisan dan ingatan umat. Ulama itu diabadikan oleh ilmu mereka, bukan dengan kedudukan mereka.
Banyak ulama menolak menjadi kadi (hakim) meskipun jabatan itu sah-sah saja mereka terima. Kedudukan apakah yang diterima oleh Hasan al-Bashri, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah, dan sederet ulama lainnya. Mereka dipaksa menerima kekuasaan, bahkan diancam agar mau menerimanya, tetapi mereka menolaknya.
Atas dasar itu, Allah mengabadikan nama mereka, menggoreskan pujian bagi mereka, mengekalkan ilmu mereka, menjadikan mereka terus memberi kontribusi meski mereka sudah wafat ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya. Itulah kedudukan yang tidak bisa dicopot oleh manusia.
Berbeda dengan kedudukan politisi yang usianya seumur jagung. Sedikit saja ada skandal, takhta itu akan dicopot sang empunya.
Demikianlah pesan yang teramat dalam yang ditulis Imam Abu Hamid seperti yang dikutip oleh as-Subki dalam kitabnya.
Barang siapa ingin mengetahui tingginya kedudukan para ulama dari para khalifah atau penguasa, bandingkan di antara ulama-ulama dan khalifah-khalifah yang semasa.
Di antaranya, as-Sya’bi dan Abdul Malik, az-Zuhri dan Hisyam bin Abdul Malik, Abu Hanifah dan al-Mansur, Malik dan ar-Rasyid, Ahmad bin Hanbal dan al-Mu’tashim, as-Syafi’i dan al-Makmun. Siapakah yang lebih lestari nama dan ilmunya hingga hari ini? Tentu para ulama itu.
Kita memohon kepada Zat yang Maha Memelihara. Memohon dengan nama-nama-Nya yang indah untuk menyalehkan kita sebagaimana Dia menyalehkan mereka, memuliakan kita seperti Dia memuliakan mereka.
Juga mengabadikan kita meski dengan ilmu dan amal yang tidak seberapa, dan mengalirkan melalui karya dan usaha kita manfaat yang terus mengalir meskipun kita sudah lagi tiada. Semoga semua itu menjadi wasilah kita untuk meraih keridhaan-Nya. Walluhu a’lam.