REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Profesi apoteker di Australia tampaknya tengah menjadi target aksi penyanderaan data komputer yang dikenal dengan sebutan serangan Ransomware. Aksi kejahatan di dunia maya ini mengunci seluruh data arsip di komputer korban dan meminta tebusan. Setahun belakangan sudah belasan apoteker menjadi korban.
Serangan penyanderaan komputer ini dimulai ketika peretas menanamkan virus di dalam sistem komputer korban yang kemudian secara perlahan-lahan akan mengunci semua file yang tersimpan di komputer tersebut sehingga tidak bisa diakses. Korban lalu diberikan tenggat waktu tertentu untuk membayar tebusan sebelum seluruh file di komputernya yang sudah dibajak dimusnahkan.
Mengingat saat ini apoteker telah beralih ke teknologi digital, catatan kesehatan yang mereka miliki menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan penyanderaan online seperti ini.
Dewan Farmasi Australia menerbitkan peringatan mengenai ancaman kejahatan penyanderaan 'Ransomware' ini. Setidaknya sudah 10 orang apoteker di Australia menjadi sasaran serangan penyanderaan Ransomware dalam kurun waktu 18 bulan terakhir.
Kepala Dewan Farmasi Australia, Stephen Marty mengatakan apoteker perlu waspada mengenai bahaya yang akan terjadi jika catatan kesehatan pasien ini dikompromikan. "Jika serangan seperti ini terjadi mereka tidak bisa memastikan keamanan pasien dalam hal pengobatan sebelumnya dan lain sebagainya,” katanya.
"Jika filenya terhapus pasien tidak bisa lagi mengakses semua data kesehatan dirinya yang mungkin diperlukan beberapa tahun ke depan karena catatan kesehatan mereka telah dikunci oleh pembajak online ini,” katanya.
Pusat Kesehatan Keluarga Miami di Gold Coast pernah menjadi korban serangan pembajakan online Ransomware ini. Namun pemiliknya David Woods menolak membayar tebusan dan berhasil memulihkan sistem di komputernya karena memiliki salinan data.
David Woods menyayangkan tidak adanya pedoman bagi pengusaha untuk mengamankan dokumen mereka dari kejahatan ini.