Rabu 05 Feb 2014 17:04 WIB

Pembatasan Lahan Hutan Dilanjutkan

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Joko Sadewo
Deforestasi Hutan di Papua
Foto: ANTARA FOTO
Deforestasi Hutan di Papua

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Kementerian Kehutanan berkomitmen menjalankan pembatasan luas konsensi hasil hutan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto mengatakan peraturan tersebut dibutuhkan agar kepemilikan lahan menjadi seimbang. "Kita akan jalan terus," katanya kepada Republika, Rabu (5/2).

Hadi menambahkan bahwa selama Kabinet Indonesia Bersatu (KBI) II Kemenhut tidak pernah memberikan izin baru pengusahaan hasil hutan dengan luas lebih dari 50 ribu hektare (ha).

Hal ini selaras dengan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P8/Menhut-11/2014 tentang Pembatasan Luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHKK) yang terbit 13 Januari 2014. Permenhut membatasi pengusahaan lahan seluas 50 ribu ha per izin konsesi.

Direktur Konservasi World Wildlife Fund (WWF) Nazir Foead mengatakan pemerintah harus tegas menerapkan pembatasan konsesi lahan tersebut. Kepemilikan lahan perlu dibatasi untuk menghadang peluang  praktek oligopoli oleh perusahaan tertentu.

Selama ini WWF melihat masih ada ketimpangan kepemilikan lahan semakin tinggi. Beberapa perusahaan bahkan bisa mengelola izin lebih dari satu juta ha. Kondisi ini rentan memancing konflik sosial  apabila dibiarkan. "Kepemilikan lahan oleh grup-grup besar masih jomplang. Sekarang satu grup bisa menguasi 1 juta lahan HTI," katanya.

Keberadaan permenhut tersebut memungkinkan masyarakat dan koperasi ikut memiliki lahan hutan. Caranya bisa dengan menerapkan konsep kemitraan. Nazir meyakini perusahaan besar tidak akan dirugikan dengan peraturan tersebut.

Permenhut ini menurut dia sebaiknya dilakukan untuk semua izin, baik yang sudah memiliki izin prinsip ataupun belum. Pemerintah diminta tidak melakukan tebang pilih. "Harus tegas, jangan buka peluang pelanggaran," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement