Oleh: Mohammad Akbar
Ia menanamkan motivasi keagamaan kepada pasukan perang gerilya.
Membicarakan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda rasanya tak afdol jika melawatkan sosok Teungku Cik di Tiro.
Namun sesungguhnya, Cik di Tiro tak hanya hadir dalam perlawanan bersenjata untuk membebaskan tanah kelahirannya dari penjajah. Ia juga memainkan peran cukup besar dalam menegakkan Islam di bumi Serambi Makkah.
Teungku Cik di Tiro memiliki nama asli Muhammad Saman. Ia dilahirkan di Dayah Jrueng Kenegerian Cumbok Lamlo, Tiro, Aceh, pada 1836 Masehi atau bertepatan dengan 1251 Hijriah. Nama Teungku Cik di Tiro ini mengandung makna bahwa ia adalah seorang imam atau ulama dari daerah Tiro.
Saman berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Syekh Abdullah—dalam catatan lain ditulis sebagai Syekh Ubaidillah. Sang ayah dikenal sebagai guru agama di Garot, tak jauh dari Sigli. Ibundanya bernama Siti Aisyah. Sang ibu adalah adik dari Teungku Cik Dayah Cut, salah satu ulama terkenal di Tiro.
Saman menghabiskan masa kecilnya dalam lingkungan beragama. Dari ayahnya dan sang paman, Teungku Cik Dayah Cut, Saman memperoleh bekal ilmu agama sejak dini. Sementara, ibunya turut berperan dalam mengajarkan bahasa Arab kepada putranya.
Sejumlah sumber menyebut, Saman tak menjalani pendidikan formal. Namun, ia menimba ilmu agama dengan mendatangi ulama-ulama terkenal di daerahnya. Di antara ulama yang pernah disambanginya adalah Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang, Teungku Cik di Tanjung Bungong, hingga Teungku Cik di Lamkrak.
Selama menyelami agama, Saman muda justru lebih menyukai ilmu-ilmu tasawuf. Salah satu karya tasawuf yang disukainya adalah karangan Imam Ghazali.
Selepas berkeliling mencari ilmu, Saman kembali ke Tiro. Di tempat ini ia membantu sang paman mengajar agama. Teungku Cik Dayah Cut sangat sayang kepada keponakannya itu. Sang paman pun menaruh harapan agar Saman bisa menjadi penerusnya dalam mengajarkan agama.
Untuk melengkapi keilmuannya, Saman muda disarankan pergi ke Tanah Suci. Tekadnya pun bulat. Seperti ritual kaum masa lalu, sebelum pergi haji Saman mengunjungi para gurunya. Namun, setibanya di Lamkrak, keinginannya untuk menunaikan ibadah haji sempat luruh.
Sebab, ketika ia tiba di Lamkrak, guru yang telah mengajarkan ilmu agama kepadanya telah wafat. Di tempat itu ia juga melihat fenomena baru. Para santri ternyata tak hanya mendalami ilmu agama. Setelah belajar di siang hari, pada malam harinya mereka ikut perang gerilya melawan Belanda.
Dari sinilah tekadnya untuk berperang mengusir penjajah Belanda mulai berkobar. Maka, Saman muda sempat ambil bagian dalam perang gerilya. Namun, pamannya di Tiro mengingatkan Saman untuk pergi haji. Akhirnya, Saman pun pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima ini.