Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Kelompok pengajian kemudian berubah nama menjadi Aisyiyah yang dicetuskan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah, antara lain KH Muhtar, KH Ahmad Dahlan, KH Bagus Hadikusuma, dan KH Fakhruddin.
Nama Aisyiyah diresmikan sebagai organisasi wanita Muhammadiyah pada 22 April 1917. Aisyiyah ketika itu diketuai oleh Siti Bariyah dan Nyai Dahlan masih berkecimpung di dalamnya.
Perjuangan Nyai Dahlan saat itu adalah untuk menghilangkan kepercayaan kolot yang dimiliki masyarakat Indonesia ketika itu.
Bahwa perempuan seharusnya dapat berjuang bersama dan duduk dalam posisi berdampingan, baik dalam institusi formal maupun dalam pendidikan. Dia tidak hanya berdakwah, tetapi juga mengajari kaum perempuan dengan membuka asrama dan sekolah-sekolah putri serta kursus pemberantasan buta huruf bagi perempuan.
Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi Ahmad Dahlan, yaitu Catur Pusat. Catur Pusat memiliki pengertian pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat ibadah.
Organisasi Aisyiyah kemudian berkembang pesat dan saat kongres Nyai Dahlan selalu memimpin, baik di Boyolali, Purwokerto, bahkan hingga ke wilayah Jawa Timur.
Memimpin kongres
Pada 1926 saat Kongres ke-15 Muhammadiyah di Surabaya, Nyai Dahlan membuat catatan sejarah. Dialah wanita pertama yang tampil memimpin kongres itu.
Saat itu, dalam sidang Aisyiyah yang dipandunya, duduk puluhan pria di samping mimbar. Mereka merupakan wakil pemerintah dan perwakilan organisasi yang belum memiliki organisasi kewanitaan, dan wartawan. Seluruh pembicara dalam sidang itu adalah kaum perempuan, hal yang tidak biasa pada masa itu.
Pengaruhnya saat itu sempat tercatat pada media massa sebagai berita utama. Namun, perjuangannya harus terhenti hingga usianya yang mencapai 74 tahun pada 31 Mei 1946.
Dia dimakamkan di pemakaman belakang Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Menteri Sekretaris Negara, Mr AG Pringgodigdo, mewakili pemerintah memberikan penghormatan terakhir.