Kamis 06 Mar 2014 20:21 WIB

Cerita Islam di Bulgaria (1)

Muslimah Bulgaria.
Foto: Slavorum.com
Muslimah Bulgaria.

Oleh: Teguh Setiawan

Silvi, Muslimah Bulgaria berusia 40 tahun yang berprofesi sebagai penjual kosmetik merk terkenal, kerap direpotkan urusan rambut. Setiap kali muncul warna abu-abu pada ujung rambutnya, Silvi merasa tak nyaman dan segera mengecatnya dengan warna hitam.

Ketika ditemui Kristen Ghodsee, penulis buku Muslim Lives in Eastern Europe: Gender, Ethnicity, and the Transformation of Islam in Postsocialist Bulgaria pada 2005, Silvi mengaku harus mengecat rambut sekali dalam sembilan hari agar warna asli rambutnya yang keabu-abuan tidak terlihat.

Rambut adalah identitas keetnisan, dan terkadang digunakan untuk mengidentifikasi pemeluk agama. Pemilik rambut abu-abu adalah mereka yang berdarah Turki, sedangkan pemiliki rambut hitam-tebal menyebut diri Bulgaria asli.

Silvi tidak bisa mengingkari asal-usulnya. Ia lahir dari keluarga keturunan Turki yang bermukim di Madan, kota di Propinsi Smolyan–sebelah selatan Bulgaria–tapi harus memanipulasi diri agar terlihat sebagai orang Bulgaria asli dan diterima bekerja sebagai penjual kosmetik.

Silvi juga bukan nama asli. Saat lahir, orang-tuanya memberi nama Aysel–kata dalam bahasa Turki yang berarti cahaya rembulan. Saat Todor Zhikov menjalankan politik Slavisasi, dan menghapus identitas Turki bagi seluruh warga Bulgaria, Aysel kecil harus berganti nama menjadi Silvia, sebuah nama Barat.

Penduduk Bulgaria yang menggunakan nama Barat diidentifikasi sebagai pemeluk Katolik. Mereka yang menggunakan nama Slav dikenal sebagai pemeluk Orthodox. Namun, Silvi tidak pernah dibaptis menjadi Katolik. Ia kerap menyebut diri Muslimah, meski tidak menjalankan ritual Islam sama sekali.

Setelah kejatuhan komunis, Silvi menyaksikan rekan-rekannya dari keluarga Muslim di Madan kembali mengenakan nama-nama Turki. Namun, Silvi dan juga seluruh anggota keluarganya tidak melakukannya. Alasannya sederhana; “Di Bulgaria, nama Turki identik dengan keterbelakangan, kampungan, dan menjadi penghambat berinteraksi dengan masyarakat modern.”

Agen kosmetik, dan produk-produk mewah lainnya, tidak akan menerima wanita keturunan Turki atau mereka yang menggunakan nama-nama Muslim sebagai pegawainya. Asumsinya, ‘orang kampung’ tidak mungkin bisa menjual barang mewah.

Namun sejak 2005, Silvi dihadapkan pada kenyataan yang sulit dicerna akal sehatnya. Ia kesulitan menjajakan dagangannya, dan tidak bisa lagi menjual sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Silvi tak siap menghadapi revolusi di masyarakatnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement