Selasa 11 Mar 2014 17:02 WIB

Kekhawatiran Muslim Tatar di Crimea

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Julkifli Marbun
Khanate Crimea, Dinasti Islam Terkuat di Eropa Timur
Foto: wikimedia.org
Khanate Crimea, Dinasti Islam Terkuat di Eropa Timur

REPUBLIKA.CO.ID, SIMFEROPOL -- Kedatangan pasukan Rusia ke Crimea sama saja membuka luka lama bagi muslim Tatar. Mereka khawatir akan menghadapi lagi situasi ‘tidak diterima’ di tanah airnya sendiri.

Muslim Tatar adalah etnis Turki yang menempati Crimea sebelum perang dunia ke II. Namun, saat itu tanah Crimea jatuh ke tangan Rusia di bawah pimpinan Stalin yang kejam. Mereka sudah cukup bahagia ketika Crimea lepas dari Rusia, menjadi tanah bebas dan menjadi bagian dari Ukraina.

Namun kini, tanah mereka terancam kembali jatuh ke dalam genggaman Rusia. Ketegangan semakin tumbuh dengan persiapan referendum yang memberatkan Crimea akan bergabung dengan negara beruang putih itu. ‘’Tiba-tiba ada rasa bahaya,’’ kata Dilyaver Reshetov, salah satu kepala grup pengawasan dari Simferopol, Akmechet.

Mayoritas penduduk Crimea yang merupakan etnis Rusia sudah pasti mendukung untuk bergabung dengan Rusia. Sementara Muslim Tatar mengaku mendukung pemimpin Ukraina yang baru dari Kiev. Hal ini juga membuat mereka takut karena bisa saja mereka menjadi target nasionalisme Rusia di semenanjung Laut Hitam.

Pemimpin Komunitas Tatar di Crimea, Refat Chubarov mengatakan ia bisa memahami mengapa sebagian besar warga Crimea ingin menjadi bagian dari Moskow. ‘’Karena mereka tiba di sini setelah perang dunia II, mereka tidak tahu sejarah sebelum itu,’’ katanya.

‘’Kami ingin mereka memahami cinta kami untuk tanah kami, dan mempertimbangkan fakta bahwa kami tidak memiliki tanah lain,’’ kata Chubarov. Ia mengatakan bahwa muslim Tatar tidak memiliki pilihan lain selain tinggal di tanah Crimea.

Dalam sejarah, Tatar tidak pernah dalam jalur yang sama dengan Rusia. Tatar adalah kelompok etnis Turki yang kini populasinya mencapai 12 persen dari populasi Crimea. Mereka telah memerintah di Crimea sejak abad 15 hingga Rusia menaklukkan semenanjung Crimea pada abad 18.

Mei 1944, tak lama setelah pasukan Soviet mengusir pasukan Jerman Nazi yang menduduki Crimea saat perang dunia II, Diktator Soviet Josef Stalin memerintahkan seluruh penduduk Tatar dideportasi. Tatar dituduh bersekongkol dengan musuh.

Saat itu, Muslim Tatar yang berjumlah sekitar 250 ribu orang dikirim dengan kereta barang ke Asia Tengah. Dalam perjalanan deportasi itu, lebih dari 40 persen meninggal dalam kelaparan dan infeksi penyakit.

Pada tahun-tahun sebelum 1991, Tatar mulai kembali ke Crimea. Ketika Uni Soviet runtuh di tahun 1991, mereka kemudian menjadi bagian dari Ukraina independen. Mereka telah memeluk negara baru mereka. ‘’Kami bahagia Ukraina menjadi bagian Eropa,’’ kata Ernst Mustafayev, seorang guru berusia 52 tahun.

Ia mengaku keadaan menjadi lebih baik. ‘’Dalam demokrasi, minoritas kami memiliki kehidupan yang baik, ini mengapa saya berdiri mendukung Kiev dan ini mengapa saya membela Crimea,’’ kata dia.

Mustafayev mengatakan Ukraina telah membela hak anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Ia juga tidak memiliki keinginan untuk hidup kembali dalam kengerian dan menderita di bawah Rusia di abad 20.

Chubarov sendiri telah menyerukan muslim Tatar untuk memboikot referendum yang akan diputuskan pada Ahad mendatang. Dia mendesak PBB untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian agar bentrokan mengerikan tidak terjadi.

Perdana menteri bagian pemeritah Crimea, Sergei Aksyonov menyadari posisi Muslim Tatar bisa menggagalkan referendum yang sudah bulat inginkan Crimea bergabung dengan Rusia. Maka, ia pun menjanjikan pemerataan hak bagi seluruh etnis.

Ia berjanji tidak akan ada diskriminasi etnis maupun agama. ‘’Setiap orang akan memiliki hak yang sama,’’ kata Aksyonov dalam sebuah wawancara dengan kantor berita negara Rusia RIA Novosri, Senin (10/3) waktu setempat.

Hal ini dinilai dilakukan untuk mendesak Tatar menyetujui referendum. Aksyanov juga menawarkan posisi bagi wakil mereka di pemerintah daerah baru. Mereka menjanjikan untuk melipatgandakan jumlah uang yang tersedia untuk membantu mereka yang kembali dari pengasingan.

Tapi hal ini dinilai tidak mungkin untuk Tatar yang membenci Rusia. Mereka merasa Rusia tidak memiliki hak untuk memutuskan masa depan Crimea. ‘’Rusia hidup di tanah air saya, di tanah air sejarah saya, bagaimana mungkin mereka ingin memutuskan nasib saya? Saya tidak akan membiarkan itu,’’ kata Zair Smedlyayev, seorang Tatar berusia 51 tahun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement