Kamis 13 Mar 2014 15:55 WIB

MUI Tegaskan Posisi Terkait Sertifikasi Halal

Rep: Amri Amrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, Sekjen MUI Ichwan Sam, dan Ketua LPPOM MUI Lukmanul Hakim.
Foto: Republika/Agung Supri
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, Sekjen MUI Ichwan Sam, dan Ketua LPPOM MUI Lukmanul Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya secara tegas menyampaikan posisinya terkait kewenangan sertifikasi halal dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH).

Sikap tegas tersebut adalah MUI memegang kewenangan sertifikasi halal seperti sekarang, atau MUI tidak sama sekali terlibat dalam urusan sertifikasi halal.

Sikap tersebut merupakan pernyataan tertulis bersama pimpinan MUI yang ditandatangani Din Syamsuddin selaku Ketua Umum MUI saat ini.

"Seperti telah dinyatakan selama ini, Dewan Pimpinan MUI berketetapan hati apabila sertifikasi halal diambil alih oleh lembaga lain selain MUI, maka MUI mengambil sikap untuk tidak ikut terlibat secara keseluruhan dalam proses sertifikasi halal, termasuk memberi fatwa," ujar Ketua Harian bBdang Ekonomi Amidhan Shaberah kepada wartawan, Kamis (13/3).

Amidhan menyampaikan sikap ini bukan hanya sikap pimpinan dan Ketua Umum MUI saat ini, tapi juga sikap ini pernah disampaikan Ketua Umum MUI sebelumnya, almarhum KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz.

Dalam pernyataan tersebut juga disampaikan harapan besar MUI agar pembahasan RUU JPH dapat diselesaikan pada periode DPR RI 2009/2014. Sebab, perjalanan RUU ini dinilai sudah cukup lama dan merugikan masyarakat.

Amidhan menambahkan, sertifikasi halal itu hanya satu bagian dari sembilan proses pengawasan dan penjaminan produk halal di masyarakat. Sedangkan yang lain dipegang oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement