Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Setelah menikah dengan Raja Maroko, Sayyida enggan meninggalkan Tetouan. Bahkan, ia bersikeras tetap menjabat gubernur Tetouan selain menjadi Ratu Maroko.
Kekuasaan tertinggi di Maroko tidak lantas membuat Sayyida meninggalkan rakyat Tetouan. Kemauan keras Sayyida tersebut dituruti Raja.
Sehingga, untuk pertama kalinya Maroko memiliki ratu yang tinggal jauh dari ibu kota. Bahkan, sang Raja harus rela menempuh perjalanan dari Fez ke Tetouan untuk menemui istrinya.
Semkin memiliki posisi yang kuat, Sayyida terngiang dengan tanah kelahirannya yang diambil Spanyol. Ia memiliki cita-cita untuk kembali merebut Andalusia dari pemerintahan yang dulu pernah mengusirnya. Ia berpendapat, cara paling efektif untuk merebut Andalusia adalah perlawanan di laut.
Sayyida bersekutu dengan Barbarossa al Algeirs Kanselir Turki untuk menguasai jalur laut di Eropa dan Timur Tengah. Dalam sebuah perjanjian, Barbarossa menguasai sebelah Timur Laut Mediterania, sementara Sayyida menguasai sisi sebelah barat. Semenjak itulah ia menjelma menjadi ratu bajak laut yang ditakuti Eropa pada awal abad ke-16.
Operasi Sayyida juga dilakukan di Selat Gibraltar pada 1540. Ia berpendapat, dengan melakukan pembajakan kapal-kapal musuh, ia akan bisa segera merebut kembali Andalusia. Sepak terjangnya di lautan Mediterania menyulitkan Portugis dan Spanyol.
Secara khusus, Portugis yang pernah kehilangan satu armada kapal kerajaan pada 1520 menempuh jalur diplomasi. Sayyida dihormati baik kawan maupun lawan.
Sayangnya, justru yang menurunkan ia dari takhta adalah keluarganya sendiri. Menantu prianya menggulingkan kekuasaannya pada 1542. Sayyida dilucuti harta dan jabatannya setelah itu.
Praktis, semenjak turun takhta, tidak satupun catatan yang menerangkan keberadaan Sayyida. Hingga kini, tidak diketahui di mana dan kapan ia meninggal.