Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Meriam Lada Sicupak
Setelah menerima kedatangan rombongan dari Aceh walau hanya menyerahkan sedikit lada saja, mereka mendapatkan kepercayaan dari Sultan Turki Usmani saat itu, yakni Selim II.
Dia setuju untuk mengirimkan bantuan berupa tentara dengan rombongan beberapa kapal ke Aceh. Dalam penyerahan secara simbolisnya, peneliti sosiologi Muslim dari Turki, Dr Mehmet Ozay, menulis bahwa Sultan Turki menyerahkan sebuah meriam sebagai simbolis pengiriman bantuan. “Meriam tersebut dikenal sebagai meriam Lada Sicupak,” tulisnya.
Rombongan yang dikirimkan oleh Sultan Turki tersebut tidak sepenuhnya bekerja untuk melakukan peperangan langsung melawan Portugis, seperti yang dibutuhkan Aceh.
Namun, mereka juga membuat lembaga pendidikan militer dan melatih rakyat serta pasukan Aceh agar bisa menguasai taktik dan strategi peperangan yang andal. Mereka juga mengajarkan rakyat Aceh untuk membuat meriam dan membuat kapal yang bisa menampung meriam di dalamnya.
Karya lama Aceh berjudul Hikayat Meukuta Alam yang disampaikan sebagai cerita lisan tentang hubungan Aceh dan Turki menegaskan, Meriam Lada Sicupak tersebut dilindungi di Aceh sampai pecah Perang Belanda pada 1874. Ada beberapa artikel yang menceritakan meriam ini yang diterbitkan pada pertengahan abad ke-20 di Istanbul.
Sayangnya, bukti simbolis hubungan antara Aceh dan Turki itu, menurutnya, nasibnya sungguh menyedihkan. Selama fase kedua invasi Belanda di Banda Aceh, meriam ini dan beberapa meriam lainnya diambil oleh tentara Belanda dan kemudian dikirim bersama dengan artefak-artefak lainnya ke negara asal mereka di Eropa.
Meriam-meriam ini sebenarnya bukan hanya aset dan warisan budaya yang tak ternilai harganya, tetapi juga merupakan bukti konkret hubungan antara Aceh dan Turki.