Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Setelah wafat, Sultan Mansyur Syah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah. Ia bisa memimpin dan memakmurkan Kesultanan Malaka.
Ia melakukan pengamanan dalam negeri dari segala tindak kejahatan yang membuat saudagar yang singgah semakin betah. Dalam masa pemerintahannya, dibuat aturan siapa pun yang berjalan di malam hari harus membawa suluh atau obor. Ia juga membangun balai sebagai pusat kegiatan masyarakat yang dijaga oleh seorang penghulu.
Kekuasaan Malaka mulai melemah di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M). Sultan ini naik takhta dalam usia yang masih belia sehingga tak mempunyai pengalaman dalam memimpin pemerintahan. Justru, ia banyak berfoya-foya dan main perempuan serta mengutamakan emosi.
Malangnya, ketika Kesultanan Malaka sedang dipimpin oleh raja yang lemah, Portugis mengetahui dan memanfaatkan situasi tersebut. Portugis datang di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque , yang awalnya datang untuk menjalin perdagangan, namun maksud ini berubah ketika mereka tiba.
Karena tak mendapatkan izin untuk membuat sebuah gudang di Malaka, Portugis pun naik pitam, kemudian menyerang dan ingin menaklukkan Kesultanan Malaka.
Ancaman yang datang tersebut disambut dengan perlawanan yang sengit oleh rakyat Malaka. Dalam serangan pertama, portugis gagal dan kalah, tak sanggup melawan rakyat Malaka yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah dan Bendahara Sri Maharaja.
Namun, dengan kelicikannya melakukan politik adu domba, Portugis berhasil memecah belah para pembesar kerajaan. Kemudian, pada Agustus 1511 dilancarkanlah serangan kedua dan berhasil. Malaka kalah dan pelabuhan besarnya dikuasai Portugis.
Kesultanan Malaka berakhir saat itu. Pun berikut kedudukannya sebagai pusat penyebaran agama Islam karena tak banyak lagi saudagar Muslim yang singgah di sana. Namun, bagi masyarakat lokalnya sendiri, Islam sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka dan mereka terus mengembangkannya.