REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah/Erik Purnama Putra
Pengamat berpendapat, rakyat sudah punya preferensi sendiri dalam memilih caleg.
Hadir pula Yusnar Yusuf (Al Jam'iyatul Washliyah), Sedeli Karim (Mathlaul Anwar), Taufik Rachman (GUPPI), Sumiah Nasution K (Al Ittihadiyah), M Abdurahman (Persis), Abdulah Jaidi Mubarak (Al Irsyad Al Islamiyah), Khofifah Undar Parawansa (Muslimat NU).
Juga hadir Priyo Budi Santoso (ICMI), Musri Zahari (Tarbiyah Islamiyah), Risanda Wijay (Majelis Az-Zikra), Nur Ihsan (Wahdah Islamiyah), dan Said Aldi Al Idrus (BKPRMI).
Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa setuju dengan seruan MUI yang menyatakan umat Islam harus memilih wakilnya, baik di legislatif maupun eksekutif, yang satu iman.
“Pikirannya adalah supaya terjadi balance of power. Kalau umat Islam itu jumlahnya mayoritas, dia harus mengambil posisi mayoritas dalam mengambil keputusan,” ujar Khofifah.
Dia melanjutkan, sangat ironis apabila umat Islam yang jumlahnya sangat besar justru tidak mendapatkan posisi yang strategis dalam mengambil suatu kebijakan. “Jumlah besar, tapi kecil porsinya dalam mengambil kebijakan tentu akan kontraproduktif,” katanya.
Ketua Umum Al Irsyad Al Islamiyah Abdullah Jaidi Mubarak mengatakan, seruan memilih caleg Muslim yang ditandatangani sekitar 60 ormas Islam sejatinya adalah keinginan agar kaum Muslim memanfaatkan pemilu dengan menggunakan hak suaranya.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor berpandangan, imbauan ormas itu bermakna bagi sebagian kelompok masyarakat tertentu. Namun, kata dia, biasanya masyarakat sudah punya preferensi sendiri dalam memilih caleg.
Bahkan, sebagian besar sudah memiliki hitung-hitungan tersendiri dalam mencoblos. “Banyak sentimen yang dijadikan pegangan seseorang dalam memilih, tidak semata mengikuti anjuran ulama,” kata Firman.