Jumat 11 Apr 2014 16:41 WIB

Warga UEA Ogah Jadi Imam, Kok?

Masjid Agung Syekh Zayed, Uni Emirat Arab.
Foto: Visitabudhabi.ae
Masjid Agung Syekh Zayed, Uni Emirat Arab.

REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) tengah kebingungan. Hanya ada empat persen imam dan muadzin yang merupakan warga negara UEA. Sisanya, merupakan imigran.

"Angka itu muncul lantaran kesejahteraan para imam dan muadzin tidak diperhatikan," ungkap Ketua Otoritas Urusan Islam dan Wakaf, Hamdan Al Mazrouei, seperti dilansir The National, Jumat (11/4).

Di luar kesejahteraan, ada masalah lain yang tak kalah pelik. Khalfan Al Muhairbi, Kepala Eksekutif Gulf Arab Group (GAG) menilai komitmen pemerintah untuk menjamin posisi imam berikut dengan fasilitasnya merupakan poin masalah lain.

"Imam harus berada di masjid satu jam sebelum shalat wajib, dan berada di masjid setengah jam setelahnya. Ini dilakukan tidak hanya sekali dua kali tapi setiap waktu," kata dia.

Masalah itu, lanjut dia, bisa diselesaikan apabila pemerintah memberikan dukungan itu. Opsi lain, pemerintah menambah jam kerja guru agama dengan harapan bisa memimpin shalat dan berdoa.

Zainab Amer , seorang warga Abu Dhabi menilai posisi imam memiliki berbagai persepsi. Masyarakat melihatnya itu sebagai sebuah profesi.  Di luar itu, posisi imam juga identik dengan politis.

"Imam tidak merasa nyaman dengan apa yang terjadi dalam dunia politik. Saya pikir, saya juga tidak akan betah apabila kondisinya demikian," kata dia.

Menurut Amer, harus ada apresiasi lebih lanjut pada para imam yang dianggap memiliki pengaruh yang besar dalam umat. "Mereka mungkin bisa menarik banyak jamaah. Artinya apa, imam memiliki posisi penting," kata dia.

Ali Al Abbadi , warga Abu Dhabi lainnya, mengatakan gaji yang lebih tinggi memang diperlukan. Tapi yang lebih penting adalah memberikan dukungan moril. "Kementerian harus memberikan pemahaman kepada para imam," kata da.

Seorang profesor sebuah Universitas di UAE, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan definisi imam adalah seorang yang hafal isi Alquran dan pengetahuan agama. Sementara, produk dari kalangan kampus tidak mengarah ke sana, sehingga ini menjadi dasar pertimbangan untuk membuka program khusus pendidikan imam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement