Oleh: Ani Nursalikah
Mahdi memiliki wajah berkulit gelap, dahi tinggi, dan rambut ikal.
Setelah berkuasa selama 22 tahun, Khalifah Abbasiyah Abu Ja’far Abdullah al-Manshur meninggal dalam usia 65 pada 21 Oktober 775 M di dekat Makkah. Ia meninggal karena terlempar dari kuda perangnya.
Sebagian orang menuturkan kesehatannya memang mulai menurun dan dokternya mendapatkan bukti adanya sejenis penyakit yang mematikan. Walaupun dirinya merupakan orang yang menggentarkan, semua kekuasaan duniawi juga membuatnya menderita.
Suatu hari, ia berbincang dengan Rabi bin Yunus yang melayaninya sebagai hajib atau kepala rumah tangga istana yang mengatur akses terhadap khalifah langsung. Manshur berkata, “Betapa indahnya dunia wahai Rabi kalau saja tidak ada kematian.”
“Sebaliknya, dunia tidak akan indah kalau bukan karena kematian,” jawab Rabi.
“Bagaimana bisa begitu?” tanya sang khalifah.
“Kalau bukan karena kematian, Anda tidak akan duduk di singgasana itu.”
“Benar,” balas sang khalifah.
Untuk merahasiakan kematiannya, Rabi mengingatkan para perempuan dalam rombongan khalifah agar tidak berkabung atas kemangkatannya secara terbuka.
Dalam sebuah muslihat yang dirancang untuk melindungi hak suksesi putranya, ia menyandarkan jenazah khalifah di sebuah kursi dalam tenda kerajaan di balik sehelai tirai tipis. Ia lalu meminta semua anggota keluarga Abbasiyah memperbarui sumpah setia mereka ketika dipanggil.
Kematian masyhur kemudian disiarkan dan malam itu ia dikebumikan di gurun. Ia dikubur dalam satu dari seratus makam yang digali di dekat Makkah untuk membingungkan upaya menemukan dan menistakan tulang-belulangnya. Dengan begitu, makamnya hilang di tengah padang pasir untuk selamanya.
Di Baghdad, putra dan pewaris Manshur, Mahdi, mengambil alih kekuasaan. Seorang keponakan laki-laki Saffah (yang menjadi Gubernur Kufah) menentang suksesinya, tapi mengalah setelah diberi janji kekuasaan setelah Mahdi meninggal.
Bagaimanapun, kelihatannya hal itu tidak mungklin terjadi karena Mahdi mempunyai dua putra.