Oleh: Azyumardi Azra*
Sebaliknya, dalam tradisi Islam Indonesia, makam dapat dipandang sebagai representasi religio-ideologi Islam Wasathiyyah yang inklusif, akomodatif, dan damai, seperti diperkenalkan para penyiar Islam sejak abad ke-12.
Historiografi Islam Nusantara tentang masa awal penyebaran Islam kaya dengan riwayat para penyiar Islam seperti itu, yang dalam konteks Pulau Jawa diwakili Walisongo.
Masyarakat Muslim Wasatihyyah Indonesia sangat menghormati para penyiar Islam. Ini tercermin dari penghormatan pada makam-makam penyiar Islam yang di Jawa disebut sebagai wali atau syekh, datuk (dato), dan tuan guru di tempat-tempat lain.
Makam-makam ini plus figur-figur Muslim terkemuka lain pada masa belakangan menjadi objek dan pusat ziarah (bahasa Arab, ziyarah) yang terus bertahan di tengah berbagai gelombang pembaruan dan pemurnian Islam sejak abad ke-17.
Makam-makam penyiar Islam dan figur Muslim terkemuka lain tidak hanya memiliki signifikansi keagamaan, tetapi juga nilai sosial-ekonomi bagi para pengelola dan masyarakat lingkungannya.
Ziarah keagamaan di Indonesia dan di kawasan Dunia Muslim lain merupakan salah satu bentuk pariwisata yang kini menjadi sumber ekonomi lukratif.
Lihat, misalnya, perjalanan umrah ke Makkah (dan juga Madinah) yang dikombinasikan dengan ziarah ke tempat historis Islam, sejak dari Mesir, Yordania, Turki, sampai Andalusia (Spanyol), yang melibatkan dana tidak sedikit.
Karena potensi sosio-ekonomi itu, pengelolaan situs-situs makam juga seharusnya kian “professional”.
*Cendekiawan Muslim