REPUBLIKA.CO.ID, Ulama-ulama nusantara kerap menimba ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah. Komaruddin Hidayat dalam pengantarnya di buku Belajar Islam di Timur Tengah catatan sejarah menunjukkan secara umum hubungan Islam nusantara dengan Timur Tengah senantiasa terjalin dengan erat, terutama sejak sekitar awal abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-17.
Hubungan ini berlanjut lagi sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang. Pada abad ke-17 dan ke-18, interaksi keilmuan antara Timur Tengah dan Indonesia semakin menemukan bentuknya yang nyata. Dalam periode ini terbentuk jaringan dalam bentuk hubungan guru dan murid yang relatif mapan antara Muslim nusantara dan rekan mereka di Timur Tengah.
Menurut Ismatu Ropi dan Kusmana, seperti dikutip Abu 'Abdurrahman dalam tulisan Peran Ulama Haramain Nusantara Dalam Pengembangan Intelektual di Indonesia, pada periode ini pula muncul sejumlah ulama yang tidak hanya produktif tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Islam di Nusantara.
Nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Syamsuddi al-Sumatrani, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili, Abu Shamad adalah tokoh-tokoh yang secara intens terlibat dalam jaringan tersebut. Demikian lamanya interaksi yang berlangsung sehingga ia tidak hanya telah membentuk wacana keislaman tersendiri yang unik, tetapi lebih dari itu telah menciptakan jaringan ulama yang berfungsi sebagai ‘alat’ transmisi keilmuan dan gagasan-gagasan pembaruan pemikiran Islam.
Dalam Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, Muhammad Iqbal dan H Amin Husein Nasution mengatakan para ulama memainkan peranan penting dalam menggerakkkan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Terjadi pemberontakan di berbagai wilayah nusantara. Di aceh, di bawah pimpinan Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan Teuku Cik Di Tiro terjadi perang melawan Belanda.
Di Minangkabau terjadi Perang Padri yang bermula dari perselisihan antara kaum agama yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol dan kaum adat lalu yang diikutcampuri Belanda. Di Jawa perlawanan terhadap Belanda dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Sedangkan di Kalimantan dipimpin Pangeran Antasari. Demikian juga di daerah lain. Mereka bergolak melawan kolonialisme Belanda.
Dalam konteks keindonesiaan, hubungan Islam dan negara juga mengalami dinamika dan perkembangan. Umat Islam yang merupakan mayoritas berusaha memberi kontribusi berharga bagi perkembangan kenegaraan Indonesia. Ada kalanya upaya umat Islam ini terakomodasi dalam ruang publik, namun tidak jarang pada saat tertentu upaya tersebut dicurigai penguasa.
Pada masa kerajaan nusantara, Islam dapat menyatu dengan aktivitas politik dan para penguasa memperoleh justifikasi kekuasaaannya dari para ulama. Hal ini sejalan dengan paradigma politik Sunni yang mengintegralkan kekuasaan agama dan politik. Sementara, pada masa penjajahan Islam menjadi kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme.