REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Dua puluh tiga label mode Australia dituduh mengeksploitasi pekerja dalam aksi yang diluncurkan hari ini oleh Serikat Pekerja Tekstil, Pakaian dan Alas Kaki di Pengadilan Federal. Mereka ke-23 perusahaan itu telah gagal menegakkan standar dasar minimum bagi pekerja dalam rantai pasokan mereka. Karena itu pekerja mereka sering terjebak dalam kondisi kerja rodi.
Dalam daftar perusahaan yang dituding mengeksploitasi pekerja itu termasuk sejumlah merek fashion terkenal Australia seperti Drizabone, Arthur Galan, Kamakaze, dan My Size. Dua dari perusahaan yang disebutkan namanya mengaku tidak menerima informasi apapun mengenai aksi yang digelar serikat pekerja di pengadilan itu. Sementara dan dua lainnya telah dihubungi untuk dimintai pendapat.
Direktur Eksekutif Drizabone, Mark Mackinnon mengatakan dirinya "bingung" oleh tuduhan tersebut. "Para pekerja kita selalu dibayar di atas upah yang ditentukan dan kami tidak mengerti mengapa nama perusahaan kami ikut disebutkan dalam aksi ini," katanya kepada ABC, baru-baru ini.
"Kami tidak percaya sama sekali kalau kami terlibat dalam hal seperti itu. Sangat aneh jika tudingan ini disampaikan ke media tanpa memberikan kesempatan bagi kami untuk melihat dokumen tudingan tersebut,”kata Mackinnon.
General Manajer Kamakaze dan Very Very, Eula Bowden juga mengaku terkejut dengan aksi yang ditujukan kepada label miliknya. "Semua pekerja kami mendapat upah diatas rata-rata upah minimum. Dan kami bekerjasama dengan pabrik yang terdaftar untuk memproduksi sebagian dari pakaian kami dan sebagian lagi kami produksi sendiri di rumah mode kami,” kata Bowden menjelaskan.
"Kami baru saja mengunjungi serikat pekerja sekitar 6 bulan lalu, dan mereka menanyakan informasi yang sudah kami berikan dan sejak saat itu mereka tidak memberi kabar apapun,”
Label pakaian Arthur Galan dan My Size belum bersedia memberikan tanggapan.
Sekretaris Nasional Serikat Pekerja Tekstil, Michele O'Neil, mengatakan tahun lalu pihaknya sudah dua kali mengirimkan surat kepada 23 perusahaan yang mereka tuntut mengenai isu ini.
Dia mengatakan eksploitasi pekerja tidak hanya terjadi di luar negeri. "Sangat disayangkan hal serupa juga terjadi di Australia dimana kita masih menjumpai setiap hari ada pegawai yang bekerja di rumah-rumah produksi dalam kondisi mengerikan di mana mereka tidak mendapatkan upah minimum, pesangon atau cuti tahunan maupun cuti panjang atau bahkan tunjangan jika sakit," kata O'Neil.
"Tanpa ada transparansi rantai pasokan, tidak mungkin mengidentifikasi pabrik rumahan dan dimana para pekerja tersebut berada,” katanya.
"Ini merupakan masalah yang tersembunyi, namun ini bukan masalah baru. Dan kasus seperti ini sudah tidak bisa ditolerir lagi pada tahun 2014. Perusahaan punya kewajiban untuk memastikan rantai pasokan produksi mereka memiliki ijin usaha yang benar,”
O'Neil mengatakan rantai pasokan sering kali panjang dan rumit dan perusahaan wajib memiliki perjanjian formal di setiap langkah.
"Beberapa perusahaan memandangnya itu hanya pekerjaan administrative saja, padahal itu terkait erat dengan sistem penghargaan pada sebuah pekerjaan," katanya.
"Perusahaan diwajibkan untuk melaporkan kemana mereka mengalihkan pekerjaan outsoursing mereka, menyediakan daftar siapa saja yang mereka pekerjakan setiap kuartal dan memberikan catatan kerja [karyawan]."
Dia mengatakan sebagian besar pekerja yang terkena dugaan pelanggaran adalah pekerja buruh migrant perempuan.
"Mereka bekerja dengan jam kerja sangat panjang dan sangat terisolasi di masyarakat, terutama jika mereka bekerja di rumah."
Menurutnya meskipun memiliki kemampuan sangat tinggi, kebanyakan dari pekerja itu dipaksa bekerja dengan jam kerja yang panjang dan gaji sangat rendah,”
“Bahkan sebagian dari mereka ada yang hanya mendapat bayaran $5 sampai $6 saja per jam,”