REPUBLIKA.CO.ID, MERAUKE -- Hari jelang sore. Suasana di Pesantren Hidayatullah Merauke, Papua tampak biasa. Para santri sedang bergegas menuju masjid. Namun, tiba-tiba seorang santri memecah kesunyian.
“Usss…Ustaaadddzzz! Eko belum pulang. Dia tenggelam di laut. Tadi berenang belum pulang sampai sekarang,” ujar santri tersebut sambil berlari ketakutan.
Pagi itu Eko memang sengaja pergi ke laut yang terletak tak jauh dari belakang pesantren. Tapi, hingga jelang maghrib dia belum kembali. Temannya itu takut dia sudah tenggelam dan dimakan hiu laut Papua yang ganas. Al Djufri Muhammad yang saat itu sebagai pimpinan pesantren cemas. Jangan-jangan Eko benar-benar tenggelam. Dia dan seluruh santri menyisir laut. Namun hasilnya nihil. Eko tak diketemukan.
Esok harinya, Al Djufri meminta bantuan tim SAR dan polisi untuk ikut mencari. Aparat pun menyisir pantai hingga ke tengah dengan alat canggih. Namun, berjam-jam dicari, jasad santri malang itu belum juga diketemukan. Tim pun menyerah. Pencarian gagal. Para nelayan memprediksi jika Eko telah habis ditelan hiu. Pasalnya, hiu di laut itu pemangsa yang buas.
Esok harinya, tepat dua hari, jenazah Eko diketemukan mengambang di laut. Bentuk jasadnya masih utuh. Tidak ada bekas gigitan ikan atau lebam kena beda keras. Meski begitu, lelaki kelahiran Soppeng 1 April 1973 ini belum bisa lega. Kali ini dia kian bingung karena tidak punya biaya buat beli kain kafan. Uang di kantong tinggal Rp 20 ribu. Tidak hanya itu, beras di dapur juga sudah habis. Seharian santri hanya makan bakaran pisang yang berada di sekitar pondok.
Jufri memutar otak seraya tak putus berdoa pada Allah. Di tengah kepanikan itu, dia datang kepada istrinya, Mujahidah Hasan Suraji. Dia meminta emas hadiah nikah barakah tahun 1997 di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak itu dijual untuk membeli kafan dan beras. Istrinya pun memberinya. Emas itu dibawa ke kota oleh Jufri untuk dijual. Namun, sebelum itu, dia sempat bersilaturahim kepada simpatisan pesantren. Tanpa diduga, ternyata jamaah tersebut memberinya uang Rp 300 ribu.
“Ini zakat saya. Saya habis panen. Semoga bisa membantu pesantren,” kata Jufri menirukan.
Jufri kaget. Ternyata, Allah tahu kebutuhannya. Dia selalu memberi pertolongan di kala yang pas dengan cara yang tak terduga. Uang tersebut lalu digunakan untuk membeli kain kafan, beras dan makanan untuk santri. Emas bersejarah itu pun tak jadi dijual.
“Sejak itu, saya makin yakin pertolongan Allah,” ujarnya.