Puasa: Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (3)

Red: Chairul Akhmad

Kamis 03 Jul 2014 06:40 WIB

Tidak ada pertentangan antara puasa dalam perspektif syari’ah, tarikat, dan hakikat. Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang Tidak ada pertentangan antara puasa dalam perspektif syari’ah, tarikat, dan hakikat.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Mereka memaknai puasa puasa lebih dalam sebagaimana dikatakan Sayid Haidar al-Amuli: “Al-Shaumu ‘indahum  ba’da qiyamihim bis shaumi ‘ibaratun ‘an imsakihim ‘an kulli ma yukhalif ridhallah wa awamirihi wa nawahihi qaulan kana au fi’lan. ‘Ilman kana au ‘amalan."

(Puasa bagi mereka setelah melaksanakan puasa dimaksud merupakan ‘ibarah untuk meninggalkan segala hal yang bertentangan dengan apa yang diridhai Allah, dari berbagai perintah dan larangan-Nya, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, baik berupa pengetahuan maupun amalan).

Pengertian puasa tersebut di atas jelas luas karena yang harus berpuasa bukan hanya organ tubuh secara biologis seperti mulut dan kemaluan, melainkan juga meliputi pancaindra lahir dan pancaindra batin.

Puasa yang demikian inilah mengantarkan seseorang untuk meraih keutamaan Allah SWT. Sebagaimana disabdakan Nabi, "Likulli hasanatin bi’asyri iamtsalihim sab’u miah dhi’fun illas shaum, fainnahu li wa ana ajzi bihi" (Setiap amal kebajikan dibalas dengan 10 sampai 700 pahala, kecuali puasa “untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya” -dengan mengutip kata Tuhan).

 

Puasa adalah ibadah paling istimewa karena satu-satunya ibadah yang akan dibalas langsung oleh Allah SWT hanya ibadah puasa. Pahalanya pun tidak menggunakan rumus biasa, tetapi Allah SWT yang akan mengukurnya.

Keutamaan ibadah puasa ini juga disebutkan dalam hadis: Likulli syai’in babun wa babul ‘ibadah al-shiyam (Segala sesuatu mempunyai pintu dan pintu ibadah ialah puasa).

Banyak lagi ayat dan hadis yang mengistimewakan puasa di atas ibadah-ibadah lainnya, sebagaimana sering kita baca dan dengar.

Puasa ahli tarekat betul-betul mensterilkan diri dari sentuhan segala sesuatu yang bersifat syubhat apalagi haram. Membebaskan nafsu dari syahwat dan membersihkan amal ibadah dari kecenderungan riya, dan menghindarkan diri dari berbagai ujub dan pujian.

Puasa yang demikian ini diharapkan bukan hanya mengantarkan orang untuk menggapai ketakwaan seperti janji Allah SWT: La’allakum tattqun (QS al-Baqarah[2]:183), tetapi juga menemui Allah (liqa’ Allah) sebagaimana disebutkan di dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 110.

Terpopuler