Oleh: Siti Noordjannah Djohantini
Ramadhan merupakan bulan istimewa. Karena, pada bulan inilah setiap Muslim berusaha menempa diri untuk menjadi insan yang terbaik melalui puasa dan amalan Ramadhan lainnya. Sifat insan terbaik tidak lain ialah takwa sebagaimana tujuan utama berpuasa (QS al-Baqarah: 186).
Salah satu amalan Ramadhan yang sungguh baik adalah bersikap pemurah atau dermawan bagi sesama, terutama bagi saudara kita yang sangat memerlukan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah adalah seorang yang paling pemurah, lebih-lebih pada Ramadhan (HR Bukhari dan Muslim). Sikap pemurah atau dermawan itu menumbuhkan empati dan rasa mau berbagi dengan orang lain.
Setiap Muslim dilatih melalui puasa agar menjadi insan yang mampu merasakan derita sesamanya dan melahirkan sikap ta’awun, yakni semangat saling menolong dan bekerja sama dengan orang lain secara tulus dan baik.
Jika dia kaya, harus berbagi dengan saudaranya yang miskin. Kalau dia berilmu, harus mau mencerdaskan orang lain dengan ilmunya. Manakala dia memiliki kekuasaan, dapat dimanfaatkannya untuk menyejahterakan orang banyak. Apabila dia berkecukupan dalam apa saja terpanggil untuk menolong siapa saja yang kekurangan.
Semangat ta'awun atau tolong-menolong dan saling bekerja sama sendiri merupakan perintah dalam Islam. Allah berfirman yang artinya, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan." (QS al-Maidah: 2). Ajaran ini sangat mulia karena setiap Muslim diajarkan untuk mau ber-ta'awun dengan siapa pun dalam hal-hal yang baik, sebaliknya jangan bekerja sama dalam segala keburukan.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang ada yang bekerja sama untuk sesuatu yang buruk dan merugikan orang lain. Karena kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sesaat, sebagian orang saling berdusta dan mengembangkan hal-hal yang negatif yang menjatuhkan orang lain.
Sementara, orang juga sering tidak bersikap adil dan baik, tidak toleran, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama karena yang bersangkutan mengejar nafsu dunia. Selain itu, tampak terjadi erosi dalam kehidupan bersama, seperti egoisme, membantu karena pamrih, hedonis atau memuja kenikmatan dunia, sikap acuh tak acuh, kepura-puraan, dan lain-lain.
Karena itu, setiap Muslim yang berpuasa akan mampu menjaga dirinya untuk menyemaikan benih-benih ta’awun membangun solidaritas sosial yang bersih dan baik dalam kehidupan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal.
Sikap ta’awun yang serbautama tersebut harus ditanamkan dan disebarluaskan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk di kalangan anak-anak sebagai generasi umat dan bangsa. Sikap bersih dan baik yang diwujudkan dalam kehidupan bersama harus menjadi budaya sehari-hari.
Dengan puasa Ramadhan, sikap ta’awun atau soldaritas sosial yang luhur itu merupakan hasil dari proses transedensi (hablu min Allah) yang membuahkan sifat kemanusiaan yang luhur (hablu min al-nas) yang bersifat serbautama.
Dalam Islam, hablu min Allah itu harus tecermin dalam hablu min al-nas begitu pula sebaliknya (QS Ali Imron: 112). Artinya, setiap Muslim yang melakukannya memang lahir dari panggilan iman dan ketauhidan yang kuat sehingga membentuk solidaritas sosial yang kuat, jernih, dan serbabaik.
Melalui puasa yang menumbuhkan semangat solidaritas sosial, akan tercipta kehidupan sosial yang religius, bermoral, demokratis, harmoni, kebersamaan, toleransi, dan saling menjunjung tinggi martabat kemanusiaan tanpa diskriminasi.
Nilai-nilai kebaikan tersebut bagi setiap Muslim yang berpuasa akan tecermin dalam perilaku yang tulus, jernih, kata sejalan dengan tindakan, serta tidak mengada-ada sebagai sebuah sikap yang semu dan sesaat. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan manusia yang bermakna di dunia dan akhirat.