REPUBLIKA.CO.ID, Tokoh yang tersohor dengan karya risalah-risalah keagamaan itu mengutip hadis bahwa tiap seratus tahun akan muncul seorang pembaru (mujadid), yakni orang-orang yang memperbarui pandangan-pandangan agama. Jadi, yang diperbarui bukan agamanya, tetapi pandangannya.
Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang diubah melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbarui. Itulah tugas seorang mujadid.
Puncak intelektual
Selain aktif berdakwah dan mendidik umat, Syafi'i menyempatkan diri menulis beragam karya. Karya-karya tersebut didominasi risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia yang bertuliskan Arab Melayu.
Sebagian besar ditulis pada 1980-an, sebagai puncak intelektual sang kiai. Sedangkan, pada tahun-tahun berikutnya, produktivitas menulisnya sudah mulai berkurang.
Di antara buah pemikirannya yang terdokumentasikan, yaitu buku Tawdhih al-Adillah. Buku ini merupakan dokumentasi hasil tanya jawab saat on air di radio. Buku ini terbit tujuh jilid yang beredar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga Malaysia.
Ia juga menulis risalah berjudul Qabliyah Jum'at, Risalah Shalat Tarawih, Sullamu al-Arsy fi Qira'at Warsy, Qiyas adalah Hujjah Syar'iyyah, Ujalah Fidyah Shalat, dan Mathmah al Rubi fi Ma'rifah al Riba.
Pada Ahad pagi, 7 Mei 2006, KH M Syafi'i Hadzami tutup usia. Ia wafat seusai mengajar di Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, karena mendapatkan serangan jantung. Umat Islam di Jakarta kehilangan salah satu lentera yang senantiasa menerangi mereka.