REPUBLIKA.CO.ID, Jangan remehkan tiap amal kebajikan apa pun meski kadarnya tak selalu besar dan menghebohkan.
Kisah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar berikut ini tak pernah usang untuk diceritakan dan dijadikan sebagai pelajaran bahwa kebaikan yang pernah diperbuat bisa dijadikan sebagai media meminta pertolongan kepada Allah SWT atau dalam bahasa syar’inya kerap disebut tawasul.
Rasulullah SAW, seperti dinukilkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, pernah menuturkan pula kisah ini. Cerita tersebut bermula ketika tiga orang mukmin yang terkenal saleh dari Bani Israel melakukan perjalanan. Hingga di tengah perjalanan, ketiganya didera hujan deras. Mereka pun kemudian berlari dan berlindung di sebuah gua di kaki gunung.
Namun, saat ketiganya berada di dalam gua, tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dan menutup pintu gua. Paniklah ketiganya. Batu tersebut amat besar dan berat hingga sulit dipindahkan. Mereka tak akan mampu keluar, kecuali dengan pertolongan Allah.
Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Pikirkanlah amalan saleh yang pernah kalian kerjakan karena Allah. Kemudian, berdoalah kepada Allah dengan amalan saleh tersebut. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kita.”
Maka mulailah mereka berpikir dan mengingat amalan kebajikan apa yang pernah mereka lakukan dengan niat tulus kepada Allah. Segeralah mereka bertawasul dengan amalan mereka. Mereka menjadikan amalan sebagai perantara dikabulkannya doa.
Orang saleh pertama bertawasul dengan amalan baktinya kepada orang tua. Ia merupakan seorang penggembala miskin yang berkewajiban menafkahi kedua orang tua, istri, dan anak-anak yang masih kecil.
Setiap pulang menggembala, ia memerah susu untuk diberikan kepada keluarganya tersebut. Setiap hari, ia melakukannya secara rutin dengan memberikan susu kepada kedua orang tuanya lebih dahulu, baru kemudian anak dan istrinya.
Suatu hari, ternak si penggembala berlari jauh dari tempat merumput biasa. Akibatnya, ia pulang ke rumah setelah matahari terbenam. Seperti biasa, ia memerah susu dari ternaknya. Namun, ketika tiba di rumah, orang tuanya telah tertidur lelap.
Bukan memberikan kepada anaknya, si penggembala justru menunggu orang tuanya terbangun, sedangkan anak-anaknya menangis meminta susu tersebut karena lapar. “Aku tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum kedua orang tuaku meminumnya,” ujar si penggembala.
Ia terus menunggu dengan perasaan iba kepada anaknya hingga fajar menyingsing. “Seperti itulah kondisiku dan anak-anakku hingga terbit fajar. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena Engkau, karena mengharap wajah-Mu maka bukakanlah dari batu ini satu celah untuk kami agar dapat melihat langit,” katanya meminta kepada Allah.
Akhirnya, batu yang menutup rapat pintu gua itu terbuka sebuah celah.