REPUBLIKA.CO.ID, Sastra Arab Islam sangat berpengaruh bagi perkembangan sastra di dunia Islam, termasuk sastra Islam Nusantara.
Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil, pengaruhnya bukan hanya terbatas pada sastra Islam, melainkan juga kesusastraan secara keseluruhan.
Namun, nuansa sufistik sangat kentara. “Corak sufistik begitu kental,” katanya. Berikut lanjutan perbincangan Sukron dengan wartawan Republika, Nashih Nashrullah:
Abbasiyah puncak sastra Islam?
Ada pendapat yang menyebut demikian, tetapi ada pula yang menyebut masa kejayaan itu ada di masa al-Bushiri atau juga al-Barzanji. Sebab, pengaruh kedua karya tokoh itu menyebar hingga ke seluruh pelosok dunia.
Di Indonesia, Sunan Bonang misalnya, dalam Suluk Wujil dan Tombo Ati. Sebenarnya, pada abad ke-12 al-Ma'ari muncul dengan ketegori baru sastra Islam, yaitu ia mengkritik realitas, termasuk agama di kalangan elite, misalnya kalimat puisinya ad-dinu muttajarun, bahwa agama telah dijual.
Dalam Al-luzumiyyat, al-Ma'ari mengkritik perilaku tokoh agamawan tidak mencerminkan nilai agung agama itu sendiri. Agama yang diperlihatkan simbolis, bersifat fisikal, tidak punya religiositas bukan sekadar religi, sebab dua hal itu berbeda. Terjadi komodifikasi Islam, menjadikan Islam komoditas model. Ini yang menyebabkannya dituding zindiq.
Sejauh mana pengaruh sastra Islam Arab dalam sastra nusantara?
Sastra Islam Arab pengaruhnya bukan saja terbatas pada sastra Islam, melainkan juga kesusastraan secara keseluruhan. Karya Hamzah al-Fansuri, misalnya, terinspirasi karya-karya Ibnu Arabi dengan teori wihdatul wujud-nya. Corak sufistik sangat kental.
Meskipun belakangan disalahpahami oleh ar-Raniry. Ia menuding Hamzah panteistik, menganggap semua Tuhan. Padahal, sebetulnya tidak demikian, konsep wahdatul wujud Hamzah al-Fansuri dan Ibnu Arabi ingin menunjukkan bahwa ada unsur ketuhanan dalam makhluk, dan ini hendak menegaskan justru keesaan Tuhan itu sendiri.
Pertentangan ar-Raniry ini wajar, ia datang dari India dengan corak fikih yang dibawa. Kasusnya, sama dalam peristiwa al-Junaid saat memvonis al-Hallaj. Akibat perseteruan ini, Hamzah dipinggirkan dari lingkungan istana. Bahkan, karya-karyanya ada yang dibakar di depan Masjid Baiturrahman.