Jumat 22 Aug 2014 07:23 WIB

Pemenang Nobel: Globalisasi Harusnya Untungkan Indonesia

Pemenang Nobel Eric Maskin.
Foto: news.harvard.edu
Pemenang Nobel Eric Maskin.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi, Eric Maskin, menyatakan bahwa globalisasi seharusnya membawa kesejahteraan bagi negara-negara berkembang dan memperkecil jarak antara kelompok berpunya dengan kelompok miskin.

Hal itu diungkapkan Eric Maskin dengan Para Pemenang Hadiah Nobel di Lindau, Jerman, demikian Ekonom Bank Indonesia, Muslimin Anwar, yang juga hadir dalam pertemuan itu kepada Antara London, Jumat (22/8).

Menurut Eric Maskin, kenyataan yang ada sampai saat ini kesenjangan itu masih tetap saja lebar. Namun demikian, belakangan ini, kesenjangan itu tidak hanya terjadi di negara berkembang namun juga di negara-negara maju.

Eric Maskin, dalam paparannya mengenai "Why Haven't Global Markets Reduced Inequality in Developing Economies?" mengatakan bahwa kesenjangan kesejahteraan telah dan akan terus menjadi permasalahan dan pekerjaan rumah politik dan sosial.

Ekonom Bank Indonesia, Muslimin Anwar, sependapat Eric Maskin yang juga dosen Harvard University ini dan berbicara pagi ini pukul 09:30 waktu Lindau dalam pertemuan ekonom muda dunia dengan peraih nobel bidang ekonomi (Lindau Nobel Laurate Meetings) itu.

Menurut dia, permasalahan sesungguhnya dari globalisasi bukan pada ide dari globalisasi itu sendiri, ternyata produksi dapat dilakukan di mana saja di dunia ini sepanjang biaya dari faktor produksi itu efisien.

Kesenjangan kesejahtearaan sangat bertentangan dengan teori perbandingan keberuntungan/theory of comparative advantage (David Ricardo, 200 tahun lalu).

Transaksi perdagangan seharusnya menguntungkan bagi negara-negara yang kaya akan faktor-faktor produksi seperti SDA dan tenaga kerja, khususnya negara yang memiliki tenaga kerja dengan keahlian tinggi (high skill).

Menurut Muslimin, salah satu dari 450 ekonom muda dari 80 negara dunia yang diundang bertemu para pemenang hadiah nobel di Lindau, menyatakan Indonesia sudah seharusnya memanfaatkan keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam dan kelompok kelas menengah dengan keahlian tinggi.

Hal itu dibutuhkan untuk mengolah SDA dengan nilai tambah tinggi yang dapat dijual dengan harga yang jauh lebih menguntungkan bagi pendapatan negara yang sangat diperlukan untuk mengurangi defisit kembar baik defisit APBN maupun defisit Transaksi Berjalan yang saat ini cukup tinggi di atas level psikologis tiga persen.

Maskin mengungkapkan bahwa problem dari globlisasi itu adalah terletak pada masalah distribusi kekayaan dari keuntungan yang didapat oleh suatu negara dari transaksi dagang globalnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan penduduknya.

Muslimin yang juga dosen FEUI berpendapat umumnya untuk negara berkembang seperti Indonesia kepiawaian dalam menghasilkan faktor produksi input yang bernilai tambah tinggi belum dilakukan secara optimal dan pengembangan SDM dengan keahlian tinggi (high skill) belum menjadi perhatian serius pemerintah meskipun anggaran pendidikan telah dinaikan mencapai 20 persen dari APBN.

Diharapkannya pemerintah baru nantinya diharapkan segera melakukan berbagai reformasi struktral yang diperlukan agar produk dalam negeri mampu menjadi input dalam rantai produksi global yang menghasilkan berbagai kebutuhan dunia khususnya di bidang teknologi.

Hal itu terbukti lebih banyak menghasilkan keuntungan dan membuka banyak lapangan kerja, sebagaimana telah dinikmati oleh negara berkembang lainnya seperti Tiongkok dan Korea Selatan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement