REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat asuransi syariah, Muhammad Syakir Sula, berharap Otoritas Jasa Keuangan konsisten dalam upaya pembatasan kepemilikan asing di lembaga keuangan non bank. Maksimal kepemilikan adalah sebesar 51 persen khususnya di asuransi syariah.
Sehingga tak hanya membatasi modal awal akan tetapi juga kepemilikan asing secara keseluruhan. Ia mengakatakan saat ini tidak ada ketentuan yang membatasi modal asing.
Misalnya modal awal asing hanya 51 persen dan pemilik lokal 49 persen. Akan tetapi, ketika ada ketentuan menambah modal baru ternyata kepemilikan investor asing semakin besar hingga 95 persen dan milik investor lokal berkurang hingga tinggal 5 persen.
Jadi, aturan pembatasan asuransi syariah oleh asing diminta harus ditegaskan secara rinci, bukan hanya dalam modal awal melainkan juga modal baru. “Termasuk ketika terjadi Risk Base Capital (RBC) suatu bank ga memenuhi ketentuan, OJK minta ke perbankan meminta supaya modal ditambah tidak hanya dari luar melainkan juga dari dalam negeri sehingga pembatasan kepemilikan asing berlangsung konsisten,” ujar dia kepada ROL, Senin (1/9).
Jika aturan kepemilikan asing ditegaskan maksimal 51 persen, ia yakin calon investor dari dalam negeri berpotensi untuk ikut dalam kepemilikan asuransi syariah. Menurutnya, asuransi syariah adalah bisnis yang visible dan sangat berpotensi.
Ini dapat dilihat dari banyaknya investor asing yang memiliki asuransi di Indonesia. Para calon investor lokal, dia melanjutkan, juga tidak perlu khawatir dengan anggapan bahwa investasi lembaga keuangan termasuk asuransi syariah adalah bisnis yang beresiko tinggi.
Ini karena OJK juga telah menerapkan aturan mengenai pengawasan pengamanan asuransi, termasuk asuransi syariah. Namun dengan syarat asuransi syariah harus melakukan pendekatan yang baik kepada calon investor tanah air termasuk lembaga bank dan non bank.