REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Aliansi milisi bersenjata, Fajar Libya, Selasa, menolak pembicaraan perujukan yang diperantarai PBB dengan Parlemen Libya, dan berpegang pada "penyelesaian militer" bagi krisis saat di Libya.
Menurut satu pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor informasinya, Fajar Libya takkan menghentikan operasi militernya sampai semua "personel kontra-revolusioner" diburu.
Faksi tersebut juga menurut Parlemen, yang diakui masyarakat internasional dan kini berada di pengasingan di Kota Kecil Tobruk di bagian timur negeri itu, menjadi otak serangan udara terhadap rakyat Libya, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa malam.
Fajar Libya, yang dibentuk pada Juli, terdiri atas beberapa kelompok gerilyawan fanatik, kebanyakan dari Kota Misrata, Libya Barat.
Aliansi bersenjata dengan ikatan yang relatif longgar tersebut telah menguasai kebanyakan bagian Ibu Kota Libya, Tripoli, sejak Agustus, sehingga memaksa pemerintah --yang condong ke sekuler-- menyelamatkan diri. Aliansi itu sekarang bergerak maju ke arah baru dalam upaya merebut daerah Wershefana.
Pada Senin (29/9), Parlemen Libya memulai pembicaraan dengan tokoh politik oposisi di Kota Ghadames di perbatasan, dalam upaya untuk mencegah negeri tersebut terperosok ke dalam kekacauan lebih lanjut.
Media lokal melaporkan pembicaraan itu mungkin tak menghasilkan apa-apa tanpa keikut-sertaan Fajar Libya, yang dipandang banyak kalangan sebagai musuh bebuyutan Parlemen Libya.