REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya praktik penistaan agama di dunia maya harus ditindak secara tegas, dan penindakan hukumnya harus dimulai dari gerakan masyarakat yang melakukan pengaduan kepada aparat berwenang.
“Pengaduan terhadap kasus penistaan agama dikembalikan kepada masyarakat,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Nur Syam kepada ROL, Selasa (21/10) saat ditanya soal tindakan Kemenag merespons praktik penistaan agama yang merajalela.
Dikatakannya, dalam struktur Kemenag, perihal kasus penistaan agama ditangani oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Namun, Kemenag tidak bisa serta merta melakukan pembelaan atau tindakan hukum atas kasus penistaan agama, sebab penindakan sudah masuk ranah pidana. Sehingga, penindakannya diserahkan kepada pengaduan masyarakat kepada aparat.
Yang dilakukan Kemenag, lanjut dia, adalah memberikan pengarahan, nasihat dan justifikasi bahwa apa yang tersaji di dunia maya masuk kategori penistaan agama, setelah melalui serangkaian analisis. Tentunya, dalam menetapkan praktik A atau B termasuk kategori penistaan agama, Kemenag mengacu pada sepuluh pedoman yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia.
Salah satu kriterianya, lanjut dia, sebuah tindakan disebut menistakan agama ketika seseorang atau kelompok menyebarluaskan hal yang bertentangan dengan prinsip agama tertentu, ritual agama tertentu, dan memberikan ajaran tambahan di luar konteks ajaran tertentu.
Maka, sekali lagi ia menegaskan bahwa yang terpenting, jika ada praktik penodaan terhadap suatu agama, maka masyarakatlah yang harus melakukan pelaporan dan penindakan berdasarkan konsultasi, rekomendasi dan justifikasi dari MUI maupun Kemenag.
Ke depannya, ia sepakat untuk melakukan suatu kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, supaya situs yang menodai agama tertentu bisa diblokir. Posisi Kemenag, kata dia, bisa menjadi konsultator di mana sebelum pemblokiran dilakukan, Kemenkominfo diberikan rekomendasinya oleh Kemenag.