REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tekanan inflasi sampai dengan Oktober 2014 di daerah berada di kisaran 6-7 persen dibanding tahun sebelumnya (year on year). Terutama di Sumatra Barat, Banten, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Gubernur BI, Agus Martowardjojo, mengatakan peningkatan inflasi menjadi dampak lanjutan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan LPG 12 kg yang dinaikkan pada September 2014.
Selain itu, tekanan inflasi volatile food di berbagai daerah relatif meningkat. Hal itu seiring masuknya masa tanam di tengah kondisi kekeringan yang semakin meningkat akibat kemarau yang berkepanjangan.
"Triwulan IV diperkirakan meningkat lagi karena dampak kenaikan komponen administrasi seperti kenaikan tarif angkutan dan harga LPG 3 kg yang terdampak kenaikan LPG 12 kg serta pengaruh kekeringan," jelas Agus dalam konferensi pers di gedung BI Bandung, Selasa (11/11).
Sampai Oktober 2014, inflasi nasional mencapai 4,83 persen YoY dan 0,47 persen dibanding bulan sebelumnya (month on month). Agus menilai inflasi MoM perlu disoroti, sebab dalam lima tahun terakhir hanya mencapai 0,14 persen.
Di Sumbar, inflasi mencapai 6,3 persen, Banten 6,7 persen, Sulawesi Tengah 7,3 persen, dan Sulawesi Utara 6,4 persen. Inflasi di daerah lainnya masih berada di bawah 6 persen.
Inflasi tersebut akan menyebabkan risiko, antara lain kenaikan harga BBM bersubsidi, berlanjut kelangkaan LPG 3 kg, meluasnya dampak kekeringan sehingga produksi pangan menurun, dan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2015.
Perekonomian Indonesia juga dipengaruhi beberapa hal, antara lain risiko fiskal seperti penyerapan anggaran rendah dan reformasi subsidi terkendala; risiko CAD seperti harga komoditas ekspor menurun dan eksternal demand melemah; risiko global seperti pelambatan ekonomi Tiongkok dan normalisasi The Fed; serta risiko global seperti hubungan eksekutif dan legislatif.
"BI yakin kalau terjadi kenaikan harga BBM, dampaknya one off sekali saja, tiga bulan kembali normal. Kami akan siaga penuh dan bekerja sama dengan pemerintah," imbuh Agus.
Di samping itu, kredit perbankan dinilai masih cenderung melambat di seluruh kawasan. Dengan perlambatan lebih dalam terjadi di Sumatra dan kawasan timur indonesia (KTI). Terutama disebabkan melambatnya kredit di sektor pertambangan dan perdagangan.
Sementara penyerapan belanja Pemda hingga triwulan III 2014 cenderung lebih rendah dibanding beberapa tahun terakhir.
Estimasi realisasi belanja daerah komulatif pada triwulan I 2012 mencapai 13,3 persen, 2013 13,6 persen, dan 11,7 persen pada 2014.
Pada triwulan II 2012 mencapai 34,6 persen, 2013 34,3 persen dan 31,3 persen pada 2014. Pada triwulan III 2012 mencapai 58,7 persen, 57,6 persen pada 2013, dan 54,7 persen pada 2014. Sementara di triwulan IV 2012 mencapai 96,2 persen, dan 96,1 persen pada 2013.