REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Krisnamurthi mengungkapkan, strategi agar pemerintah dapat menyalurkan raskin tepat sasaran yakni dengan rutin melakukan pembaruan data sebab kondisi masyarakat miskin fluktuatif. Ada yang ketika didata ia masuk kategori miskin tapi beberapa waktu kemudian sudah tidak miskin lagi karena sukses usahanya, demikian sebaliknya.
Pemerintah daerah, lanjut mantan wakil menteri perdagangan, harus ambil peran dalam pelaksanaan penyaluran bantuan beras miskin (raskin) untuk masyarakatnya. Caranya dengan mengalokasikan dana penyaluran misalnya biaya transportasi agar tidak dibebankan kepada masyarakat. Sebab Bulog hanya sampai ke titik bagi per wilayah. “Selama ini tidak ada dana di Pemda karena banyak yang tidak dialokasikan,” kata dia pada Senin (15/12).
Diterangkannya, distribusi raskin terbangun dari tiga pilar yang saling berkaitan satu sama lain. Pilar tersebut yakni pengadaan beras atau gabah dari petani, stok beras di pemerintah dan beras untuk keluarga berpenghasilan rendah.
Harganya beras harus dijamin pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam konteks melindungi petani. “Pemerintah menjamin di mana saja dan berapa saja harganya akan dibeli,” katanya. Stok pemerintah, lanjut dia, dihasilkan dari kontribusi regional RI. Namun dalam kondisi tertentu, dapat dilakukan operasi pasar untuk stabilitas harga ataupun impor.
Tiga pilar tersebut harus kokoh. Agar pangan pokok rakyat terutama petani kecil dan konsumen berpendapatan rendah tidak terkena resiko negatif pasar bebas. Resiko tersebut misalnya terkena fluktuasi harga akibat naik turunnya pasokan beras di konsumen maupun produsen. Kekuatan pilar juga dapat menghindari fluktuasi harga akibat spekulan yang memanfaatkan ketidakakuratan informasi harga.
Adapun manfaatnya, dengan pembelian gabah kepada petani 3.5 sampai 4 juta ton dengan harga pembelian pemerintah, harga gabah di tingkat petani terutama ketika panen akan stabil. Selain itu, akan ada injeksi langsung ke pedesaan sebesar Rp 18 triliun per tahun yang berdampak langsung pada peningkatan likuiditas masyarakat desa.