REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) menilai penghapusan Ron 88 akan mengakibatkan impor bahan bakar minyak (BBM) naik menjulang. Alasannya, kilang di Indonesia mayoritas tidak memadai untuk mengolah Ron 92.
Senior Vice President Fuel Marketing and Distribution Pertamina Suhartoko mengatakan, konsumsi BBM bersubsidi jenis premium pada 2014 sekitar 30 juta kiloliter (kl). ''Impor sekitar 20 juta kl,'' kata dia kepada //Republika//, Senin (22/12) malam.
Dia menerangkan, hasil olahan kilang Pertamina hanya sekitar 10 juta kiloliter. Alhasil, dengan peralihan ke Ron 92, pengolahan di kilang Pertamina akan semakin menipis. Artinya, produksi kilang akan semakin minim dan impor BBM akan semakin meningkat.
Selain itu, kata Suhartoko, impor Ron 92 akan membengkakkan biaya pembelian. Pasalnya, harga Ron 88 senilai 98,42 persen dari Ron 92. Apabila setahun konsumsi 30 juta kl, berarti sekitar Rp 8 triliun dana tambahan yang akan dikeluarkan.
Suhartoko mempertanyakan apabila Ron 88 dihapus apakah Ron 92 akan disubsidi. Dia menilai, daya saing Pertamina akan tergerus apabila Ron 92 tidak disubsidi dan diharuskan jual Ron 92 ke daerah-daerah pelosok yang infrastrukturnya masih belum baik dan volume penjualannya minim.
Jalan keluarnya, kata dia, selain SPBU milik selain Pertamina harus diwajibkan membangun SPBU di daerah pelosok. ''Atau, Pertamina bisa jual dengan harga berbeda-beda di setiap daerah semisal, di Sorong, Papua harga jualnya Rp 19 ribu per liter,'' ujar dia.
Suhartoko menilai, hal tersebut akan tidak adil bagi masyarakat pelosok. Pasalnya, Pulau Jawa yang rata-rata pendapatannya lebih tinggi daripada Indonesia Timur membeli BBM dengan harga lebih murah.