REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Panitia Pengarah KUII ke-VI, Slamet Effendy Yusuf mengatakan, para peserta kongres yang memasuki hari ketiga ini sudah mulai mengental untuk menyatukan kehendak umat Islam Indonesia. "Menyatukan diri dalam satu visi menyusun langkah untuk lima tahun ke depan," ujar Kiai Slamet di Yogyakarta, Selasa (10/2) .
Meskipun demikian, penyatuan visi bersama ini, lanjut Slamet, baru akan bisa terwujud setelah para peserta kongres merumuskan rekomendasi-rekomendasi KUII ke-VI. Sejumlah rekomendasi di antaranya akan ditujukan kepada pemerintah dan ormas-ormas Islam Indonesia.
Sehingga, KUII bisa menyuarakan kritik keislaman, baik eksternal ke negara maupun internal ke umat Islam sendiri.
"Jadi semua tergantung rumusan terakhir daripada rekomendasi-rekomendasi ini. Juga implementasinya," tambah Kiai Slamet.
Dalam pandangan Kiai Slamet, secara garis besar, salah satu fokus rekomendasi itu ialah revitalisasi lanskap budaya Islam Indonesia. Sebab, dalam sejarahnya simbol-simbol Islam pada era sebelum lahirnya NKRI sangat kentara. Yakni, sebagai tata ruang pusat kota yang berpusat pada masjid lalu keraton, yang menghadap alun-alun. Simbol keislaman ini, yang tersisa hanya beberapa, misalnya di area Keraton Yogyakarta.
"Karenanya harus dipahami, lahirnya Republik (Indonesia) tidak mesti menghilangkan simbol-simbol Islam Indonesia," ujarnya.
Solusi keterpinggiran lanskap budaya Islam Indonesia, menurut Slamet, ada pada kesadaran para pembuat kebijakan tata kota, baik di pusat maupun daerah. Apalagi, para politikus Muslim dan partai politik berplatform Islam. Sehingga, mereka mau menghasilkan regulasi yang memusatkan kembali arsitektur atau ruang publik Islam sebagai simbol kebanggaan masyarakat, khususnya di tempat mayoritas Muslim.
"Jangan sandarkan semuanya ke pasar. Sebab, mesti ada kesadaran mengenai peradaban apa yang mau kita bangun sebagai mayoritas di negeri ini," tutur Kiai Slamet.