REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Langkah Amerika Serikat menutup kedutaan besarnya di Yaman diikuti oleh dua sekutunya, Inggris dan Prancis. Kedua negara itu juga menutup kedutaannya menyusul pemberontak Syiah yang kembali merebut kekuasaan di Sanaa, menyoroti gejolak yang melanda negara itu.
Penutupan kedutaan karena kelompok Houthi yang bersenjata lengakap berpatroli di jalan-jalan utama ibukota, Sanaa. Mereka berpatroli dengan sejumlah truk pickup yang dipasang dengan senjata anti-pesawat.
Sementara, gelombang protes datang di berbagai sudut kota dan mengecam Houthi. Pertokoan telah tutup lebih awal dan helikopter beterbangan di langit-langit kota Sanaa.
Rabu pagi, Menteri Inggris untuk Timur Tengah, Tobias Ellwood mendesak warga Inggris yang masih berada di Yaman untuk segera pergi. Kedutaan Besar Inggris mengatakan telah menutup Kedutaan Besar di Sanaa dan mengevakuasi stafnya. Sementara, Kedutaan Besar Prancis mengatakan akan menutup kedutaan pada Jumat.
"Situasi keamanan di Yaman terus memburuk selama beberapa hari terakhir," kata Tobias Ellwood. Misi diplomatik negara-negara Teluk Arab yang menentang Houthi juga sudah mengevakuasi staf mereka.
Krisis Yaman telah terjadi selama beberapa bulan, sejak pemberontak Syiah Houthi memulai serangan mereka pada September. PBB telah berusaha untuk menengahi pembicaraan antara Houthi dan pemerintah Yaman.
Abdel-Malek al-Houthi, yang memimpin pemberontak Syiah, memperingatkan semua orang tidak berdiri menghalangi mereka. Mereka mengecam pemerintah asing dan meminta menghapus diplomasi mereka di Yaman.
"Kami tidak akan menerima tekanan. Mereka tidak ada gunanya," kata al-Houthi di siaran pidato pada kelompok pemberontak sendiri jaringan TV al-Masseria. "Siapa pun yang merugikan kepentingan negara ini bisa melihat bahwa kepentingan mereka di negeri ini juga dirugikan."
Huthi secara tradisional berbasis di Yaman Utara berbatasan dengan Arab Saudi. Banyak dugaan kelompok beraviliasi dengan Iran. Namun, mereka dengan tegas membantahnya.