REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI antara lain berhasil merumuskan Risalah Yogyakarta, sebagai pernyataan sikap bersama umat Islam Indonesia, yang diwakili para insan tokoh Muslim. Isi dokumen historis itu, antara lain, menyerukan kepada penyelenggara negara untuk mengantisipasi tergerusnya lanskap atau tata ruang Islami di banyak perkotaan maupun daerah di Indonesia.
Terkait itu, pengamat tata kota Bakti Setiawan menilai, perlu sekali bagi umat Islam memeriksa lagi konsep-konsep dalam ajaran agamanya sehingga bisa mengantisipasi tuntutan zaman. Misalnya, konsep wakaf.
"Jadi bagaimana agar konsep wakaf itu tidak hanya dipakai untuk membangun masjid-masjid. Tapi juga dipakai untuk perbaiki tata kota, yakni wakaf ruang terbuka hijau (RTH)," kata Bakti Setiawan saat dihubungi ROL, Jumat (13/2) di Jakarta.
Namun, guru besar UGM ini melanjutkan, hal ino hanya mungkin semarak bila umat Islam sendiri mampu ikhlas di tengah gempuran situasi pamrih ala kapitalisme kini. Jika tidak ikhlas, umat Islam dan masyarakat kota kehilangan kendali atas RTH.
"Tapi dalam situasi kapitalistik kini, apa semangat mewakafkan, //sharing//, seperti itu masih kuat? Dan kalau tidak bisa mendekati semangat itu, jangan harap Islam dipandang tidak jelek oleh pihak lain," papar Bakti.
Terakhir, Bakti menyampaikan, dalam peraturan negara, RTH tiap kota itu minimal 30 persen dari luas kota tersebut. Rinciannya, 20 persen merupakan RTH milik publik, sedangkan 10 persen sisanya itu milik pribadi warga-warga kota itu. Misalkan, kata Bakti, ada orang yang punya rumah besar bertaman luas.
"Nah, aturan RTH 30 persen sendiri, menurut saya, aturan yang sangat Islami. Padahal, itu tidak dibuat berdasarkan Alquran, misalnya," pungkas Bakti.