REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan terus menggali cara untuk mengejar target penerimaan pajak. Kali ini, pemerintah akan kembali mengubah skema pengenaan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk properti mewah.
Direktur Transformasi Proses Bisnis Wahju K. Tumakaka mengatakan, properti mewah yang akan dikenakan PPnBM hanya akan berdasarkan nilai atau harga. Tidak lagi menghitung luas bangunan. "PPnBM properti dikenakan berdasarkan harga tertentu," kata Wahju kepada Republika Online, Kamis (12/3).
Wahju menjelaskan skema baru tersebut akan diberlakukan karena pertimbangan bahwa luas bangunan tidak lagi bisa menjadi patokan. Sebab, luas bangunan kecil seperti di Jakarta harganya bisa sangat mahal mencapai miliaran.
Selain itu, peraturan ini dibuat agar tidak ada permainan dari para pengembang properti. "Kalau harganya mahal tapi luasnya dikurangi, kan bisa tidak kena PPnBM nantinya," ujar dia.
Perubahan skema dasar ini merupakan kali kedua setelah sebelumnya Kementerian Keuangan berencana merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK.03/2008 terkait penjualan atas barang sangat mewah yang dikenai PPh pasal 22.
Tadinya, revisi peraturan tersebut akan mengubah kriteria rumah yang pantas dikenakan PPnBM. Yakni rumah yang semula harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi diubah menjadi harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
Sedangkan apartemen, kondominium dan sejenisnya, yang akan dikenakan PPnBm adalah yang memiliki harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi dari harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 400 meter persegi.
Wahju belum bisa mengungkapkan kapan skema baru pengenaan pajak properti mewah ini akan diberlakukan. Dia juga belum bisa menyebutkan berapa nilai properti yang pantas dikenakan PPnBM. "Masih dikaji oleh Badan Kebijakan Fiskal. Begitu pula tarif PPnBM-nya," kata dia.