REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pascaserangan udara Saudi Arabia ke Yaman memicu ancaman krisis minyak mentah di Timur Tengah. US West Texas Intermediate mencatat harga untuk Mei mendatang melonjak sebanyak 2,22 dolar perbarel.
Kelonjakan harga minyak mentah mencapai 4,5 persen dari harga semula. Catatan New York Mercantile Exchange, minyak mentah menduduki harga 51,43 dolar US per barel. Angka ini merupakan angka termahal dalam kurun waktu tiga minggu. Sedangkan di London sendiri harga minyak mentah dipatok 59,91 dolar US per barel.
"Ketegangan geopolitik di Yaman memicu kenaikan harga yang semakin tinggi," ujar Daniel Ang analis Investasi seperti dilansir Chanel News Asia, Jumat (27/3).
Meski Yaman bukan termasuk produsen utama, tetapi Yaman merupakan pusat perdagangan minyak mentah di wilayah Timur Tengah. Adanya ketegangan di Yaman mengakibatkan gangguan dalam aktivitas perdagangan untuk produk Energi.
Padahal, sebelumnya Ang mengatakan negara anggotan OPEC sudah membuat kesepakatan dengan menurunkan harga minyak sekitar 60 persen pada semester awal 2015. Apalagi, Amerika Serikat telah meningkatkan produksi minyak mentahnya sehingga adanya kelebihan pasokan di pasar minyak.
Sayangnya, dengan perang yang terjadi di Yaman, menyebabkan stabilitas minyak mentah di dunia menjadi gonjang-ganjing kembali. Ang mengatakan, pihak pimpinan OPEC harus segera mengambil kebijakan strategis untuk bisa menstabilkan harga minyak mentah dunia.