REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan akad bagi hasil seperti musyarakah dan mudharabah dinilai terlalu berisiko untuk keuangan syariah Indonesia yang masih muda. Meski penggunaan akad ini oleh industri keuangan syariah sudah 39 persen.
Pengamat ekonomi Karim Consulting Indonesia Adiwarman Azwar Karim tidak sependapat. Ia menyebut komposisi penggunaan akad murabahah 61 persen, musyarakah dan mudharabah 39 persen. Ia melihat mudharabah dan musyarakah bukan hal menakutkan.
''Tanpa menghitung Iran, musyarakah dan mudharabah di Indonesia komposisinya terbesar,'' kata Adiwarman, Jumat (27/3).
Ia menilai musyarakah dan mudharabah yang dijalankan di Indonesia sudah bagus dengan risiko yang terkendali. Keberhasilan ini karena penggunaan dua tahap, dimana bank bermudharabah dengan multifinance, koperasi jasa keuangan syariah, atau bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) untuk selanjutnya lembaga keuangan itu bermudharabah dengan nasabah atau anggota.
Indonesia juga punya mekanisme mudharabah dan musyarakah menggunakan surat perintah kerja (SPK) dimana pembiayaan baru bisa dicairkan setelah bank menerima SPK sehingga risikonya kecil.