REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2015 diproyeksikan berada di bawah 5 persen. Pelambatan tersebut dinilai akan berdampak pada turunnya likuiditas perbankan.
Chief Economist Bank BRI Anggito Abimanyu mengatakan, likuiditas bank umum di Bank Indonesia pada tanggal 24 April 2015 turun Rp 50 triliun menjadi Rp 98 triliun dibandingkan dengan akhir Maret 2015 yang sebesar Rp 148 triliun, atau secara year to date turun 22 persen.
Menurutnya, turunnya likuiditas bank umum di rekening BI yang mengalami penurunan cukup drastis menunjukkan likuiditas semakin ketat. Likuiditas yang turun, lanjutnya, dapat menyebabkan persaingan bunga perbankan semakin tinggi.
Implikasi pelambatan ekonomi pada likuiditas perbankan akan ada potensi penurunan kenaikan dana pihak ketiga (DPK) secara nasional. Jika rencana pemerintah ekonomi bisa tumbuh 7 persen, ada potensi kenaikan DPK yang bisa ditabung perbankan sebesar Rp 600 triliun.
"Tapi melihat kondisi kuartal I-2015 tidak ada perbaikan maka potensi kenaikan DPK turun menjadi Rp 484,9 triliun. Ini mengakibatkan kegiatan ekonomi turun, pendapatan masyarakat turun, dan potensi menabung turun," jelas Anggito di Jakarta, Senin (27/4).
Anggito memperkirakan, koreksi pertumbuhan ekonomi itu akan terjadi pengetatan likuditas. Tentu ekspekasinya adalah kenaikan suku bunga, namun tergantung strategi masing-masing bank. Perhatian bank adalah bagaimana likuiditas cukup untuk melakukan fungsi intermediasi.
Meskipun, saat ini tidak ada kekurangan likuiditas, atau masih ekses di pasar. Namun, jika bank ingin tumbuh harus punya likuiditas. Sedangkan lukuiditas di pasar ada tapi mahal. Perbankan akan punya strategi masing-masing untuk memenangkan persaingan. "Kalau di bank BUMN ada kesepakatan untuk mengurangi perang suku bunga. Ada potensi persaingan, itu harus dikelola dengan baik," imbuhnya.
Menurutnya, kebijakan aturan penambahan obligasi dalam penghitungan LDR atau memasukkan sekuritas yang diterbitkan ke LDR akan sangat menolong perbankan. Sebab, beberapa bank memperoleh sumber pendapatan dari obligasi. Misalnya Bank Tabungan Negara yang mengandalkan pembiayaan jangka panjang. Jika komponen itu tidak pernah dihitung dalam LDR, akan membuat bank berlomba-lomba mencari deposit.