REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hadist Indonesia KH Mustafa Ali Yakub mengatakan, rendahnya minat terhadap pembelajaran hadist tidak hanya di Indonesia, namun juga secara umum di negara-negara Islam lainnya. Mustafa mengakui, untuk mempelajari hadist memang lebih sulit dibandingkan mempelajari Alquran, Fikih, Tasawuf dan bidang studi ilmu Islam lainnya.
“Mempelajari hadist itu memang njelimet, dibandingkan mempelajari tafsir, fikih dan lain-lainnya,” kata pendiri Darusunnah International Institute for Hadith Sciences ini kepada ROL, Selasa (9/6).
Imam Besar Masjid Istiqlal ini kemudian menceritakan ketika ia masih berada di Madinah Arab Saudi pada era 80-an dulu, ia melihat mahasiswa Indonesia yang belajar agama di sana memang sedikit yang berminat untuk masuk ke fakultas hadis. Saat itu, 300 mahasiswa Indonesia, yang masuk ke fakultas hadist hanya sebanyak empat orang.
Penyebabnya, kata dia, karena ilmu hadis dikenal susah dan membuat para mahasisa khawatir akan menjalani masa perkuliahan yang lama. Tidak seperti masuk fakultas tafsir atau ilmu lain yang relatif lebih mudah dan bisa menyelesaikan masa studi lebih cepat.
Sulitnya belajar hadist disebutkan Mustafa karena harus terlebih dahulu memastikan apakah sebuah hadist yang ditemukan itu apakah sahih berasal nabi atau tidak. Atau juga punya periwayatan yang kuat atau tidak. Hal ini kata Mustafa sangat berbeda bila dibandingkan dengan belajar tafsir yang mana kesahihan semua ayat-ayat Alquran tidak perlu dipertanyakan lagi.
“Kalau tafsir kan mudah, tinggal mempelajari penafsiran dari para ulama saja. Kalau hadist harus ditentukan dulu kesahihannya. Kalau kata teman-teman kita dulu, kalau mempelajari hadist nanti disuruh menghafal matinya orang se-Madinah,” ujar Musfata.